FIQH SIYASAH
Antara Islam, Demokrasi, dan HAM
1.
Pengertian Demokrasi
Secara etimologis (bahasa) “demokrasi”
terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau
penduduk suatu tempat dan “cratein”
atau “cratos” yang berarti kekuasaan
atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein
(demokrasi) adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan
bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana
dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Joseph A.
Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
b.
Sidney Hook,
demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang
penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan
mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
c.
Menurut Internasional Commision of Jurits dalam konfensinya di Bangkok, Demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan
politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh
mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan
yang bebas. Inilah yang disebut sebagai demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).[1]
Negara
yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat. Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburg-nya mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. “government
of the people, by he people, and for the people”. Artinya kedaulatan
tertinggi dalam sistem demokrasi ada ditangan rakyat dan rakyat mempunyai hak,
kesempatan dan suara yang sama dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Hakikat suatu pemerintahan yang demokratis bila
ktiga hal diatas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan.
a.
Pemerintahan
dari rakyat
Mengandung
pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan diakui dan
pemerintah yag tidak sah dan tidak diakui di mata rakyat. Pemerintahan yang sah
dan diakui berarti suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan dari
rakyat. Sebaliknya pemerintah yag tidak sah dan tidak diakui berarti suatu
pemerintahan yang tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat.
b.
Pemerintahan
oleh rakyat
Mengandung
arti bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat bukan atas
dorongan dan keinginannya sendiri. Selain itu juga mengandung pengertian bahwa
dalam menjalankan kekuasaan, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat.
c.
Pemerintahan
untuk rakyat
Mengandung
pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah itu
dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat harus didahulukan
diatas kepentingan segalanya. Untuk itu pemerintah harus mendengarkan dan
mengakomodasi aspirasi rakyat dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan dan program-programnya,
bukan sebaliknya hanya menjalankan aspirasi keinginan diri, keluarga, dan
kelompoknya.[2]
Kaidah-kaidah dalam demokrasi antara lain, ta’aruf atau saling mengenal, syura atau musyawarah, ta’awun atau kerja sama, mashlahah
atau menguntungkan masyarakat, ‘adl
atau adil, dan taghyir atau perubahan[3]
2.
Demokrasi dalam Islam
a. Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat
Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah
bagian dari syura (musyawarah). Syura atau musyawarah berasal dari
bahasa Arab, dari kata syura yang
berarti sesuatu yang tampak jelas. Kata syura
diambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang mulanya bermakna mengeluarkan madu
dari sarang lebah, kemudian maknanya berkembang mencakup segala sesuatu yang
dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk mengeluarkan pendapat.
Di dalam al-qur’an, terdapat ayat yang akar katanya menunjukkan keharusan bermusyawarah, yaitu (1) surat
al-Baqarah [2] ayat 233, surat an-Nisa’[4] ayat 34, (2) surat Ali Imran [3]
ayat 159, dan (3) surat asy-Syura [42] ayat 38. Ayat-ayat yang berhubungan
dengan musyawarah ini menunjukkan suatu perintah musyawarah sebagai kewajiban
hukum bagi kaum muslim dan merupakan salah satu dasar pemerintahan Islam.
b.
Kebebasan dari ketakutan
Upaya membebaskan warga dari rasa ketakutan perlu
adanya aturan untuk bekerjasama, tolong menolong dalam kebaikan, termasuk
bersatu dalam menghadapi para penjahat dan larangan berkerjasama, tolong
menolong, berserikat dalam melakukan dosa dan pelanggaran.
c.
Kebebasan berserikat dan berkumpul
Menurut pandangan Islam, manusia selain mutlak harus
bertuhan, juga mutlak harus bermasyarakat sebab kalau tidak, manusia itu akan
diliputi kehinaan. Umat Islam adalah masyarakat yang komunal bukan masyarakat
yang individual. Selanjutnya Islam menekankan bahwa semua manusia adalah umat
yang satu dan bersaudara. Berdasarkan pandangan itu saja sudah cukup untuk
menjelaskan bahwa sebagai orang yang bersaudara tentulah berkumpul dan
berserikata adalah keharusan bukan sekedar kebebasan.
d.
Kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi
Manusia sebagai
makhluk sosial mutlak perlu berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam berkomunikasi
itu ia dapat memperoleh dan memberi informasi kepada manusia lainnya. Berhubungan dengan hal itu maka hak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi adalah suatu hak yang bersifat mendasar. Informasi yang baik akan berguna untuk
mengembangkan iri pribadinya dan lingkungan sosialnya. Akan tetapi, apabila
informasi yang diperoleh itu adalah informasi yang salah dan menyesatkan, bisa
mendatangkan kesusahan. Oleh karena itu informasi yang dicari dan didapatkan
harus diolah agar dapat dijadikan bahan untuk pengembangan diri.
e.
Kebebasan
memilih tempat tinggal
tA$s% $pkÏù tböquøtrB $ygÏùur tbqè?qßJs? $pk÷]ÏBur tbqã_tøéB ÇËÎÈ
"Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu
mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan.” (QS Al-A’raf: 25)[4]
Penunjukkan tempat
tinggal di bumi memberi syarat bahwa manusia itu bebas memilih tempat tinggal
yang cocok bagi mereka. Bumi yang disediakan oleh Allah untuk tempat hidup,
tempat mati, dan tempat dibangkitkan bagi manusia menjelaskan dengan pasti
bahwa manusia itu boleh memilih tempat tinggal yang disukainya. Adapun
batas-batas teritorial yang ditetapkan oleh negara-negara itu adalah
kecenderungan politik saja yang membagi dan menetapkan negara-negara dengan
unsur-unsur adanya rakyat yang bersatu, pemerintah yang berdaulat dan wilayah
teritorial tertentu.
f.
Persamaan hak
Dalam ajaran Islam,
adanya umat yang satu ialah karena manusia seluruhnya adalah ciptaan Allah SWT,
mempunyai kakek dan nenek moyang yang sama yaitu Nabi Adam as dan Siti Hawa
dank arena itu semua manusia bersaudara, suatu persaudaraan yang universal yang
oleh Boisard disebut persaudaraan teosentrik (berpusat kepada Tuhan), artinya
Allah sebagai Pencipta seluruh manusia menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku dan Allah jualah yang menetapkan syariat bahwa manusia itu adalah
umat yang satu dan bersaudara semua. Semua manusia sama kedudukannya di hadapan
Allah. Adanya persatuan maka tidak ada peluang untuk timbulnya sifat-sifat
buruk.
Persamaan yang ada
dalam Islam diantaranya adalah persamaan kepemilikan sumber daya alam yang bisa
disapatkan di darat dan laut, persamaan dalam hak mengeluarkan pendapat,
perasaan untuk terhindar dari perasaan ketakutan, persamaan untuk bebas dari
kemiskinan, persamaan harkat dan martabat manusia.
g.
Kesetaraan
laki-laki dan perempuan
Allah menerangkan bahwa
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya dan tidak membeda-bedakan
seorangpun diantara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka
pahalanya. (QS An-Nisa’: 152)
Selanjutnya Allah juga
menetukan bahwa derajat yang dicapai oleh manusia, laki-laki atau perempuan,
tergantung dari amal perbuatan mereka atau apa yang telah mereka kerjakan. (QS
Al-Ahqof: 19)
Harus diakui, bahwa
kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam bukanlah berarti
kesamaan dalam segala-galanya. Allah sebagai Tuhan pencipta manusia telah
menciptakan laki-laki dan perempuan dengan fisik yang berbeda-beda secara
kodrati antara lain, bahwa perempuan bisa hamil sedangkan laki-laki tidak.
Perbedaan lain adalah mengenai warisan, sebagaimana yang tertera pada QS
An-Nisa: 11, warisan seorang anak perempuan adalah seperdua dari yang didapat
oleh laki-laki.
h.
Hak suaka atas politik
Orang-orang yang merasa
teraniaya di negerinya biasanya meminta perlindungan atau suaka politik di
negara lain. Hal ini pada umumnya berhubungan dengan masalah politik yang
dianut oleh suatu negara yang kadang-kadang ada golongan tertentu dalam
golongan tersebut yang aliran politiknya berbeda dengan penguasa sehingga
dimusuhi oleh penguasa. Mereka yang merasa tidak aman dalam negerinya mencari
perlindungan atau suaka politik ke negara lain.
Ketentuan pemberian
suaka atau perlindungan politik, jelas dan tegas tidak akan memberikan suaka
kepada para penjahat dari ketentuan syari’at Islam, misalnya para koruptor di
negaranya lalu lari ke luar negeri meminta suaka, dalam pandangan Islam tidak
akan diberi suaka. Sebaliknya kalau yang meminta suaka itu orang yang di
negaranya berjuang untuk misalnya menegakkan demokrasi ala Islam yaitu
musyawarah tetapi berhadapan denga aliran politik penguasanya yang dictator,
maka ia berhak mendapatkan suaka politik. Jadi, dalam aturan Islam, pemberian
suaka politik bersifat selektif, tergantung kebaikan dan tidaknya perbuatan
yang bersangkutan dilihat dari syari’at Islam.
i.
Hak dan
kewajiban membela negara
Persatuan
umat dalam ajaran islam adalah hal penting yang sangat ditekankan, seperti yang
ditegaskan dalam al-quran surat Al-Maidah ayat 2, Allah memerintahkan kepada
manusia agar tolong menolong mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dalam hal ini persatuan dan
kebersamaan menghadapi musuh atau perusuh adalah hal yang paling penting dan
utama. Pencantuman persamaan kewajiban untuk membela negara adalah salah satu
asas persamaan yang adil, oleh karena dalam upaya membela negara, yang
dipertaruhkan adalah jiwa, raga, tenaga, juga harta.
j.
Hak atas
perlindugan kebebasan pribadi
Privasi atau kebebasan
atau keleluasaan peribadi adlah salah satu kebebsan yang sangat dilindungi
islam. Allah melarang orang berprasangka buruk karena merupakan dosa.[5]
3.
Pengertian Hak Asasi Manusia
HAM dalam Islam dikenal
dengan istilah huquq al-insan
ad-dhoruriyyah dan huquq Allah.
Dalam Islam antara huquq al-insan
ad-dhoruriyyah dan huquq Allah tidak
dapat dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan satu
dengan lainnya.
Menurut pendapat Jan
Materson (dari Komisi HAM PBB), HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap
diri manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
John Locke, HAM adalah
hak-hak yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati
(Masyhur Effendi, 1994).
Dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 menyebutkan bahwa
“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.”
Berdasarkan beberapa
rumusan pengertian HAM diatas, diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan
hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan sangat mendasar
sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh
setiap individu, masyarakat atau negara.[6]
4.
Hak Asasi Manusia dalam Islam
HAM pada lingkungan
Islam, seperti pesantren, pada umumnya merupakan sesuatu hal yang baru. Di
kalangan pesantren, terdapat dua konsep hak, yakni haq al-insan dan hak Allah (hak manusia dan hak Allah) dimana
setiap hak itu melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi hak manusia,
demikian juga sebaliknya. Pembagian hak ini menjadi dasar bagi
ketentuan-ketentuan normatif dalam Agama Islam, sehingga hal-hal yang
menyangkut hak manusia urusannya harus dengan manusia sendiri, baru kemudian
dengan Allah.
Masalah yang terjadi
sekarang adalah sultan, amir, atau khalifah yang dijustifikasi keberadaannya di
muka bumi untuk menegakkan hak-hak yang dilanggar oleh orang lain, ternyata
malah merebut keseluruhan hak-hak itu. Hak-hak yang direbut tersebut bukan
hanya hak manusia tetapi juga merambah pada hak Allah yang mestinya ditegakkan
untuk ketenteraman manusia. Hak Allah diambil oleh kekuasaan, sehingga penguasa
memfungsikan diri sebagai Allah dan memaksakan orang serta member sanksi.
Yang dipahami di
lingkungan pesantren adalah tentang 5 prinsip HAM, yaitu:
a.
Hak perlindungan
terhadap jiwa atau hak hidup. Barangsiapa yang membunuh atau melenyapkan suatu
jiwa, maka perbuatan itu sama nilainya melenyapkan seluruh jiwa. Barangsiapa
yang menghidupi atau menjamin kehidupan satu jiwa, maka nilainya sama dengan
seluruh jiwa.
b.
Perlindungan
keyakinan. Perlindungan keyakinan ini dituangkan dalam ajaran lakum diinukum waliyadiin (bagimu
agamamu, bagiku agamaku). Oleh karena itu, tidak boleh ada pemaksaan dalam
memeluk agama.
c.
Hak perlindungan
terhadap akal pikiran. Hak perlindungan terhadap akal pikiran diterjemahkan
dalam perangkat hukum yakni tentanh haramnya makan atau minum hal-hal yang bisa
merusak kesadaran pikiran. Barangsiapa yang melanggar hal itu akan diberikan
hukuman. Selain itu, hak perlindungan terhadap akal juga diterjemahkan dalam
hak perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan hak-hak pendidikan.
d.
Perlindungan
terhadap hak milik. Perlindungan ini diterjemahkan dalam hukum tentang keharaman
mencuri dan hukuman yang keras terhadap pencurian hak milik yang dilindungi
secara sah. Kalau diterjemahkan lebih jauh hak ini dapat dipahami sebagai hak
bekerja atau memperoleh pendapatan yang layak.
e.
Hak berkeluarga
atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik. Hak mempertahankan
nama baik diterjemahkan dalam hukum yang begitu keras terhadap orang yang
melakukan perbuatan zina.[7]
[1] Rapung Samuddin, Lc, M.A. Fiqh Demokrasi, Jakarta: Gozian Press,
hlm: 163-165
[2] Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education):Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000, hlm: 110-112
[3] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung:
Mizan, 1997, hlm: 91-105
[4] Mushaf Al-Azhar. Bandung: Jabal. 2010. hlm: 153
[5] Dr. Muhammad Alim, SH., M. Hum.,
Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam,
Yogyakarta: LKiS, hlm: 159-231
[6] Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education):Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000, hlm: 200-201
[7] Sobirin Malian dan Suparman
Marzuki, Pendidikan Kewarganegaraan dan
Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm: 101-108