Santri Berkarya, Indonesia Berjaya
“Indonesia Tanah Airku
Tanah tumpah darahku…”
.
Di bawah langit biru yang cerah dan terik matahari yang hangat, sang saka merah
putih mulai dikibarkan. Lagu kebangsaan dinyanyikan dengan penuh penghayatan.
Semua peserta yang hadir memberikan hormat dan baris dengan tegap. Pemandangan
yang tidak pernah ada sebelumnya, ratusan santri putri mengenakan seragam
atasan putih dan rok hitam, dibalut dengan jilbab putih nan suci, serta
mengenakan sepatu hitam berkaos kaki putih. Upacara dalam rangka hari santri
tanggal 22 Oktober dilaksanakan dengan penuh hikmat.
Rahmah
menatap dalam pada sang merah putih yang terus dikerek ke atas. Matanya mulai
berkaca. Rasa harunya tak dapat ditahan lagi. Ia sangat bersyukur berada di
tengah-tengah ratusan santri dalam upacara ini. Benaknya masih terus
bertanya-tanya tentang statusnya sebagai seorang santri. Sebenarnya, santri itu
siapa? Yang disebut santri itu bagaimana?
Angannya
kembali pada satu tahun lalu. Memorinya teringat pada kenangan-kenangan yang
menakjubkan bersama para santri lainnya di pondok pesantren yang ia tempati
sekarang. Kegiatan-kegiatan yang awalnya asing dalam kehidupannya memberikan
Rahmah sebuah pengalaman baru. Pengalaman yang mengajarkannya dalam menjalani
dan memaknai kehidupan. Pengalaman yang menyuruhnya untuk terus membuka mata
dan melihat dunia luas. Pengalaman yang membuatnya haus akan ilmu pengetahuan.
Semua yang ia dapatkan di pesantren bukan hanya bermanfaat bagi dirinya
sendiri. Namun, juga bermanfaat bagi semuanya, orang tua, keluarga, masyarakat,
nusa dan bangsa Indonesia.
Kala
itu, mentari masih tersembunyi dari balik cakrawala. Titik embun tak hanya
menyapa sang pagi. Kabut tebal pun tak hanya menyelimuti. Begitu pula angin
yang tak hanya berhembus silih berganti. Kokok ayam jantan terdengar lantang di
setiap penjuru negeri. Membangunkan dinginnya pagi dari malam yang penuh akan
mimpi.
Di
pagi buta, saat rembulan masih menampakkan sinarnya, Ayah telah bersiap untuk
mengantarkan Rahmah pada cita-citanya. Sayup-sayup terdengar deru sepeda motor
Ayah ditengah senyapnya jalanan desa. Mereka berangkat ditemani bayang-bayang
tubuh mereka yang selalu setia mengikuti.
Tekad
Rahmah telah bulat. Hari itu juga ia meminta restu dari kedua orang tunya untuk
menimba ilmu di pondok pesantren. Awalnya memang ragu dan berat untuk
melangkah, tetapi bisikan malaikat di sisi kanan Rahmah membujuk hatinya untuk
memantapkan langkah baiknya itu. Bismillahirrohmanirrohim.
Pagi itu, tepat pukul 03.00 WIB, Rahmah berangkat bersama sang Ayah. Rahmah
ingin belajar dengan sungguh-sungguh dan mendalami ilmu agama dengan benar. Ia
tidak hanya ingin menjadi seorang yang berilmu, tetapi juga ingin menjadi
muslimah yang memiliki akhlaqul karimah.
Pondok
pesantren membuka pintunya selebar mungkin bagi calon santri yang akan mondok
di sana. Bangunan hijau yang kokoh menyambut Rahmah dengan senyuman yang
bersahabat. Saat memasuki pondok, hati Rahmah seperti meleleh saat mendengar
ratusan santri sedang mengaji Alquran di sebuah ruangan seperti aula. Di tempat
tersebut, ia benar-benar merasakan ketenangan yang luar biasa.
Rahmah
teringat kata-kata Pak Kiai saat ia sowan
di dalem tadi pagi. Waktu itu,
Pak Kiai bertanya tentang perbedaan cah pondok
dan cah santri. Saat ditanya hal
demikian, Rahmah tidak menjawab. Ia yang baru masuk pondok untuk pertama
kalinya, belum bisa menjawab pertanyaan seperti itu. Ia hanya diam sembari
terus menundukkan kepalanya. Ia berusaha untuk sesopan mungkin saat berhadapan
dengan Kiai.
“Kalau
kamu pergi ke pondok pesantren, tentunya kamu akan bertemu dengan banyak cah pondok di sana. Namun, jika kamu
ingin bertemu cah santri, mungkin
tidak ada setengahnya dari cah pondok
tersebut. Cah pondok itu, kalau di
pondok yo melakukan aktivitas dan
peraturan pondok pesntren. Pakaiannya muslimah, ngaji Quran tiap hari, ibadah
salatnya rajin dan tepat waktu. Tetapi, saat ia keluar dari pondok, ia tidak
menjalankan kegiatan-kegiatan tersebut sebagaimana saat ia lakukan di pondok.
Ia bisa saja tidak menutup auratnya dengan benar, ngajinya jarang, salat wajib
pun dilaksanakan tidak tepat waktu alias mengulur-ulur waktu. Berbeda dengan cah santri. Apa yang ia lakukan di
pondok, maka ia akan mempertahankannya dimanapun dan kapanpun. Santri itu kan
seorang yang menimba ilmu dan kebanyakan didominasi oleh ilmu agama. Ilmu yang
ia dapatkan tentunya akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bukan hanya bermanfaat
untuk dirinya, tetapi juga untuk orang lain. Maka dari itu, saya berpesan
kepada setiap santri yang mondok di sini untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Ikuti
setiap kegiatan dan peraturan yang ada di sini. Insyaalallah akan mendapatkan
berkah dan manfaat dari ilmu tersebut.
Pendidikan
yang diajarkan di pondok pesantren tidak akan didapat di sekolah manapun.
Pendidikan akhlak dan karakter yang baik selalu diajarkan di pondok. Dari
perkara yang sepele sampai dengan perkara yang besar, Insyaallah diajarkan
dengan detail. Di sisni santri diajarkan untuk berwawasan internasional, tetapi
juga tetap mempertahankan karakter lokal bangsa Indonesia. Apa gunanya ilmu
tanpa akhlak? Yang ada malah petaka, karena ilmu diselewengkan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab. Saya tidak ingin santri saya menjadi santri yang
pintar. Pintar, bisa saja ia pintar berbohong, pintar menyontek, pintar menipu,
dan pintar lainnya. Saya hanya ingin santri saya menjadi santri yang ‘alimah dan memiliki akhlak al-karimah.”
Rahmah
memantapkan hatinya. Ia ingin menjadi seorang santri yang sejati dan tentunya
akan berusaha yang terbaik. Kata-kata Pak Kiai telah mengetuk hatinya untuk
selalu bersemangat dalam mencari ilmu. Di pondok pesantren, Rahmah membangun
keluarga barunya bersama dengan ratusan santri yang bukan hanya berasal dari
tanah Jawa, tetapi juga luar Jawa. Kehidupan di pondok menambah rasa
kebersamaan diantara santri semakin bertambah. Sifat tolong menolong, rukun,
mandiri, dan peka terhadap semua keadaan lambat laun tercipta dengan
sendirinya. Pesantren menjadi sebuah miniatur kehidupan sosial yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam menghadapi kehidupan luar nantinya.
Di
pesantren tersebut, Rahmah diajarkan dua bahasa asing, Arab dan Inggris. Setiap
harinya, santri harus berkomunikasi menggunakan dua bahasa asing tersebut.
Selain itu, kitab kuning juga selalu menjadi makanan santri setiap malam bakda
salat Isya’. Kegiatan-kegiatan baru itu, awalnya memang membuat Rahmah kaget.
Ia sempat ingin boyong, namun selalu ada teman-teman yang menahannya untuk
pindah. Mereka menyemangati Rahmah dan akan berjuang bersama.
Rahmah
merasa kecil hati karena melihat teman-temannya yang kebanyakan memang pernah
mondok dan lulusan dari Aliyah. Tetapi, rasa kecil hatinya itu telah diubah
menjadi sebuah motivasi untuk bangkit. Rahmah juga teringat pesan Pak Kiai di
sela-sela ngaos kitab.
“Ketika
orang lain merangkak, maka kamu berjalan. Ketika orang lain berjalan, maka kamu
berlari. Ketika orang lain berlari, maka kamu melompat.”
Pesan
tersebut berarti bahwa kita harus berada selangkah lebih depan daripada orang
lain. Rahmah menyadari pengetahuannya memang tidak ada apa-apanya dibandingkan
santri lain. Hal ini, membuatnya harus belajar dua kali lebih banyak dari
santri lain. Rahmah mulai memanajemen waktunya. Ada waktu yang ia gunakan untuk
belajar ilmu agama dan juga ilmu umum. Teman-teman yang satu kamar dengan
Rahmah sangat membantu dan mendukung apa yang dilakukan Rahmah. Rahmah yang
selalu bersikap baik kepada teman-temannya, mendapat balasan yang baik pula.
Hal inilah yang menjadikan Rahmah untuk tetap bertahan di pondok pesantren
tersebut. Semuanya seperti air, kehidupan ini akan terus mengalir.
Enam
bulan berada di pondok pesantren, perilaku Rahmah telah berubah menjadi semakin
baik. Wawasannya mengenai ilmu pengetahuan agama juga semakin bertambah.
Setidaknya ia tahu mana yang diperintahkan dan dilarang oleh-Nya. Kecakapannya
dalam berbahasa Inggris membuat Rahmah menjadi perwakilan pondok untuk
mengikuti speech competition di provinsi.
Ia berangkat dengan sahabatnya yang menjadi perwakilan dari pondok untuk
mengikuti khitobah. Sahabatnya memang
sangat lanyah dalam berbahasa Arab. Mereka berangkat bersama diantar oleh
pengurus pondok.
Kesempatan
yang luar biasa itu tidak akan Rahmah sia-siakan begitu saja. Ia segera
mengabari kedua orang tuanya dan meminta doa restu dari keduanya. Ia akan
berjuang semaksimal mungkin. Ia berusaha untuk tidak mengecewakan orang-orang
yang telah mendukungnya dan telah memberi kepercayaan kepadanya.
Detak
jantung berdegup tak karuan saat nama Rahmah dipanggil. Langkahnya berusaha
ringan menaikki panggung kompetisi. Puluhan mata memandang pada satu tujuan.
Rahmah menyapa setiap pasang mata dengan senyum lepas. Ia menarik nafas dalam
dan mengeluarkan pelan. Ia mengelap halus keringat di dahinya. Rahmah menangkap
sepasang mata yang begitu melekat di hatinya. Ternyata Pak Kiai hadir di
tengah-tengah penonton. Beliau menganggukkan kepala dengan pelan, namun mantap.
Beliau meyakinkan Rahmah kalau ia pasti bisa. Rahmah membalas anggukan tersebut
dengan penuh kemantapan pula. Rahmah mulai meletakkan tangan kanannya pada
mikrofon yang telah disiapkan sebelumnya. Dalam hatinya ia berniat untuk
menyampaikan sebuah pesan yang semoga bermanfaat bagi semuanya. Ia akan
melakukannya dengan ikhlas. Kali ini, ia tidak terlalu mengharap kemenangan. Ia
serahkan semuanya kepada Allah. Kemudian mulailah Rahmah membuka mulut dan
menyampaikan isi pidatonya.
Semua
penonton, termasuk para juri, mendengarkan dengan saksama dari isi pidato
Rahmah. Ruangan terasa hening saat Rahmah menyampaikan pidatonya yang berisikan
peranan santri untuk kemajuan bangsa Indonesia. Rahmah mengajak kepada semua
untuk kembali mengingat perjuangan para santri yang lebih banyak ikut andil
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tercinta. Mereka merasakan
penderitaan yang sangat berat. Namun, mereka begitu semangat dalam berjihad dan
rela mati di tangan penjajah. Melihat fenomena tersebut, Rahmah menyampaikan
bahwa sebagai generasi Indonesia yang telah merdeka, wajib untuk memperjuangkan
kembali dengan cara belajar dan menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh untuk
kemaslahatan bangsa Indonesia. Sekarang, rakyat Indonesia tinggal menikmati
hasil dari kemerdekaan tersebut. Mencari ilmu di pondok pesantren adalah salah
satu cara menikmati kemerdekaan yang telah dicapai. Tak ada lagi bahaya yang
melanda dan ilmu dapat diperoleh dengan tenang dan aman.
Sorak
sorai penonton dan gemuruh tepuk tangan menghiasi ruangan kompetisi saat Rahmah
mengakhiri pidatonya. Rahmah kembali ke tempat duduknya dengan perasaan yang
sangat lega. Pada saat ia menyampaikan pidatonya tadi, ia tidak merasakan
grogi. Walaupun, awalnya sempat demam panggung, tetapi semua dapat diatasi.
Rahmah menyampaikan pidatonya dengan penuh semangat. Semua penonton menjadi
terpana dan seolah-olah terhipnotis dengan kata-kata Rahmah.
Pengumuman
dibacakan pada akhir acara tersebut. Tangan Rahmah berkeringat. Jari-jemarinya
bergetar. Lagi-lagi jantungnya berdegup kencang. Mulutnya masih terus
bergerak-gerak. Kedua matanya ia pejamkan dan terus saja berdoa.
“Berikanlah yang terbaik untuk hamba, Ya Allah.” (ucap Rahmah dalam hati)
Hatinya
terguncang saat namanya dipanggil sebagai pemenang kompetisi ini. Semua yang
hadir memberikan selamat kepada Rahmah. Setelah acara selesai, Rahmah mencari
Pak Kiai yang sedari pengumuman memang tidak terlihat. Ia bertanya kepada
sahabatnya, namun sahabatnya tidak tahu jikalau Pak Kiai hadir di tempat
tersebut. Sahabatnya tidak melihat Pak Kiai.
“Apa mungkin, ini hanya halusinasiku saja?” (batin Rahmah yang terus bertanya-tanya)
Sejenak
ia melupakan kejadian itu. Ia kembali pada kemenangannya. Ia benar-benar tidak
menyangka. Senyum merekah menghiasi bibir gadis ini. Perasaan haru tiba-tiba
menyelimuti relung hatinya. Alhamdulillah.
Rahmah berhasil.
Rahmah
juga mendapatkan selamat dari orang Malaysia. Rahmah pun berkenalan dengan
orang Malaysia tersebut. Mereka saling bertukar pikiran dan wawasan. Rahmah
mencoba bertanya tentang pendapat orang-orang Malaysia terhadap santri
Indonesia. Dan yang membuat Rahmah bangga adalah ketika mereka berpendapat
bahwa santri Indonesia adalah santri yang paling sopan yang pernah ia temui.
Mereka sangat menghormati guru, ilmu, dan menghormati sesama. Saat mereka
berjalan, tiba-tiba ada Pak Kiai, maka mereka berhenti dan menundukkan kepala.
Saat mereka berjalan di depan guru mereka, maka mereka berjalan menggunakan
lutut. Mereka tidak akan mendahului ataupun membelakangi guru mereka. Di
Malaysia memang diajarkan untuk sopan, namun di Indonesia jauh lebih sopan.
Rahmah
tersenyum bangga mendengar pujian tersebut. Pengalaman-pengalaman tersebut akan
menjadikannya lebih giat untuk belajar dan tentunya semakin cinta Indonesia.
Pengalaman menakjubkan saat hidup di pondok, akan ia ceritakan kepada anak
cucunya nanti, sebagai sebuah pelajaran berharga untuk kehidupan mereka.
Kini
sang saka merah putih telah berada di ujung tiang. Berkibar dengan gagah
diterpa angin. Semua santri memandang sang saka dengan penghormatan. Semua
santri bertekad akan berusaha menjadi santri sejati yang akan memanfaatkan
ilmunya bagi semua orang dan tentunya bagi nusa bangsa Indonesia. Santri
berharap, Indonesia tercinta dapat menjadi negara yang semakin maju dan selalu
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Hal ini agar tercipta kemakmuran,
keamanan, dan kedamaian bagi bangsa Indonesia sendiri. Generasi muda, khususnya
santri akan selalu berkarya, sehingga Indonesia akan terus jaya. Indonesia Merdeka!
“Indonesia Raya Merdeka Merdeka,
Tanahku Negeriku yang Ku Cinta,
Indonesia Raya Merdeka Merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar