Minggu, 27 November 2016

CERPEN

Santri Berkarya, Indonesia Berjaya

“Indonesia Tanah Airku
Tanah tumpah darahku…”
. Di bawah langit biru yang cerah dan terik matahari yang hangat, sang saka merah putih mulai dikibarkan. Lagu kebangsaan dinyanyikan dengan penuh penghayatan. Semua peserta yang hadir memberikan hormat dan baris dengan tegap. Pemandangan yang tidak pernah ada sebelumnya, ratusan santri putri mengenakan seragam atasan putih dan rok hitam, dibalut dengan jilbab putih nan suci, serta mengenakan sepatu hitam berkaos kaki putih. Upacara dalam rangka hari santri tanggal 22 Oktober dilaksanakan dengan penuh hikmat.
Rahmah menatap dalam pada sang merah putih yang terus dikerek ke atas. Matanya mulai berkaca. Rasa harunya tak dapat ditahan lagi. Ia sangat bersyukur berada di tengah-tengah ratusan santri dalam upacara ini. Benaknya masih terus bertanya-tanya tentang statusnya sebagai seorang santri. Sebenarnya, santri itu siapa? Yang disebut santri itu bagaimana?
Angannya kembali pada satu tahun lalu. Memorinya teringat pada kenangan-kenangan yang menakjubkan bersama para santri lainnya di pondok pesantren yang ia tempati sekarang. Kegiatan-kegiatan yang awalnya asing dalam kehidupannya memberikan Rahmah sebuah pengalaman baru. Pengalaman yang mengajarkannya dalam menjalani dan memaknai kehidupan. Pengalaman yang menyuruhnya untuk terus membuka mata dan melihat dunia luas. Pengalaman yang membuatnya haus akan ilmu pengetahuan. Semua yang ia dapatkan di pesantren bukan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri. Namun, juga bermanfaat bagi semuanya, orang tua, keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa Indonesia.
Kala itu, mentari masih tersembunyi dari balik cakrawala. Titik embun tak hanya menyapa sang pagi. Kabut tebal pun tak hanya menyelimuti. Begitu pula angin yang tak hanya berhembus silih berganti. Kokok ayam jantan terdengar lantang di setiap penjuru negeri. Membangunkan dinginnya pagi dari malam yang penuh akan mimpi.
Di pagi buta, saat rembulan masih menampakkan sinarnya, Ayah telah bersiap untuk mengantarkan Rahmah pada cita-citanya. Sayup-sayup terdengar deru sepeda motor Ayah ditengah senyapnya jalanan desa. Mereka berangkat ditemani bayang-bayang tubuh mereka yang selalu setia mengikuti.
Tekad Rahmah telah bulat. Hari itu juga ia meminta restu dari kedua orang tunya untuk menimba ilmu di pondok pesantren. Awalnya memang ragu dan berat untuk melangkah, tetapi bisikan malaikat di sisi kanan Rahmah membujuk hatinya untuk memantapkan langkah baiknya itu. Bismillahirrohmanirrohim. Pagi itu, tepat pukul 03.00 WIB, Rahmah berangkat bersama sang Ayah. Rahmah ingin belajar dengan sungguh-sungguh dan mendalami ilmu agama dengan benar. Ia tidak hanya ingin menjadi seorang yang berilmu, tetapi juga ingin menjadi muslimah yang memiliki akhlaqul karimah.
Pondok pesantren membuka pintunya selebar mungkin bagi calon santri yang akan mondok di sana. Bangunan hijau yang kokoh menyambut Rahmah dengan senyuman yang bersahabat. Saat memasuki pondok, hati Rahmah seperti meleleh saat mendengar ratusan santri sedang mengaji Alquran di sebuah ruangan seperti aula. Di tempat tersebut, ia benar-benar merasakan ketenangan yang luar biasa.
Rahmah teringat kata-kata Pak Kiai saat ia sowan di dalem tadi pagi. Waktu itu, Pak Kiai bertanya tentang perbedaan cah pondok dan cah santri. Saat ditanya hal demikian, Rahmah tidak menjawab. Ia yang baru masuk pondok untuk pertama kalinya, belum bisa menjawab pertanyaan seperti itu. Ia hanya diam sembari terus menundukkan kepalanya. Ia berusaha untuk sesopan mungkin saat berhadapan dengan Kiai.
“Kalau kamu pergi ke pondok pesantren, tentunya kamu akan bertemu dengan banyak cah pondok di sana. Namun, jika kamu ingin bertemu cah santri, mungkin tidak ada setengahnya dari cah pondok tersebut. Cah pondok itu, kalau di pondok yo melakukan aktivitas dan peraturan pondok pesntren. Pakaiannya muslimah, ngaji Quran tiap hari, ibadah salatnya rajin dan tepat waktu. Tetapi, saat ia keluar dari pondok, ia tidak menjalankan kegiatan-kegiatan tersebut sebagaimana saat ia lakukan di pondok. Ia bisa saja tidak menutup auratnya dengan benar, ngajinya jarang, salat wajib pun dilaksanakan tidak tepat waktu alias mengulur-ulur waktu. Berbeda dengan cah santri. Apa yang ia lakukan di pondok, maka ia akan mempertahankannya dimanapun dan kapanpun. Santri itu kan seorang yang menimba ilmu dan kebanyakan didominasi oleh ilmu agama. Ilmu yang ia dapatkan tentunya akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bukan hanya bermanfaat untuk dirinya, tetapi juga untuk orang lain. Maka dari itu, saya berpesan kepada setiap santri yang mondok di sini untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Ikuti setiap kegiatan dan peraturan yang ada di sini. Insyaalallah akan mendapatkan berkah dan manfaat dari ilmu tersebut.
Pendidikan yang diajarkan di pondok pesantren tidak akan didapat di sekolah manapun. Pendidikan akhlak dan karakter yang baik selalu diajarkan di pondok. Dari perkara yang sepele sampai dengan perkara yang besar, Insyaallah diajarkan dengan detail. Di sisni santri diajarkan untuk berwawasan internasional, tetapi juga tetap mempertahankan karakter lokal bangsa Indonesia. Apa gunanya ilmu tanpa akhlak? Yang ada malah petaka, karena ilmu diselewengkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Saya tidak ingin santri saya menjadi santri yang pintar. Pintar, bisa saja ia pintar berbohong, pintar menyontek, pintar menipu, dan pintar lainnya. Saya hanya ingin santri saya menjadi santri yang ‘alimah dan memiliki akhlak al-karimah.”
Rahmah memantapkan hatinya. Ia ingin menjadi seorang santri yang sejati dan tentunya akan berusaha yang terbaik. Kata-kata Pak Kiai telah mengetuk hatinya untuk selalu bersemangat dalam mencari ilmu. Di pondok pesantren, Rahmah membangun keluarga barunya bersama dengan ratusan santri yang bukan hanya berasal dari tanah Jawa, tetapi juga luar Jawa. Kehidupan di pondok menambah rasa kebersamaan diantara santri semakin bertambah. Sifat tolong menolong, rukun, mandiri, dan peka terhadap semua keadaan lambat laun tercipta dengan sendirinya. Pesantren menjadi sebuah miniatur kehidupan sosial yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam menghadapi kehidupan luar nantinya.
Di pesantren tersebut, Rahmah diajarkan dua bahasa asing, Arab dan Inggris. Setiap harinya, santri harus berkomunikasi menggunakan dua bahasa asing tersebut. Selain itu, kitab kuning juga selalu menjadi makanan santri setiap malam bakda salat Isya’. Kegiatan-kegiatan baru itu, awalnya memang membuat Rahmah kaget. Ia sempat ingin boyong, namun selalu ada teman-teman yang menahannya untuk pindah. Mereka menyemangati Rahmah dan akan berjuang bersama.
Rahmah merasa kecil hati karena melihat teman-temannya yang kebanyakan memang pernah mondok dan lulusan dari Aliyah. Tetapi, rasa kecil hatinya itu telah diubah menjadi sebuah motivasi untuk bangkit. Rahmah juga teringat pesan Pak Kiai di sela-sela ngaos kitab.
“Ketika orang lain merangkak, maka kamu berjalan. Ketika orang lain berjalan, maka kamu berlari. Ketika orang lain berlari, maka kamu melompat.”
Pesan tersebut berarti bahwa kita harus berada selangkah lebih depan daripada orang lain. Rahmah menyadari pengetahuannya memang tidak ada apa-apanya dibandingkan santri lain. Hal ini, membuatnya harus belajar dua kali lebih banyak dari santri lain. Rahmah mulai memanajemen waktunya. Ada waktu yang ia gunakan untuk belajar ilmu agama dan juga ilmu umum. Teman-teman yang satu kamar dengan Rahmah sangat membantu dan mendukung apa yang dilakukan Rahmah. Rahmah yang selalu bersikap baik kepada teman-temannya, mendapat balasan yang baik pula. Hal inilah yang menjadikan Rahmah untuk tetap bertahan di pondok pesantren tersebut. Semuanya seperti air, kehidupan ini akan terus mengalir.
Enam bulan berada di pondok pesantren, perilaku Rahmah telah berubah menjadi semakin baik. Wawasannya mengenai ilmu pengetahuan agama juga semakin bertambah. Setidaknya ia tahu mana yang diperintahkan dan dilarang oleh-Nya. Kecakapannya dalam berbahasa Inggris membuat Rahmah menjadi perwakilan pondok untuk mengikuti speech competition di provinsi. Ia berangkat dengan sahabatnya yang menjadi perwakilan dari pondok untuk mengikuti khitobah. Sahabatnya memang sangat lanyah dalam berbahasa Arab. Mereka berangkat bersama diantar oleh pengurus pondok.
Kesempatan yang luar biasa itu tidak akan Rahmah sia-siakan begitu saja. Ia segera mengabari kedua orang tuanya dan meminta doa restu dari keduanya. Ia akan berjuang semaksimal mungkin. Ia berusaha untuk tidak mengecewakan orang-orang yang telah mendukungnya dan telah memberi kepercayaan kepadanya.
Detak jantung berdegup tak karuan saat nama Rahmah dipanggil. Langkahnya berusaha ringan menaikki panggung kompetisi. Puluhan mata memandang pada satu tujuan. Rahmah menyapa setiap pasang mata dengan senyum lepas. Ia menarik nafas dalam dan mengeluarkan pelan. Ia mengelap halus keringat di dahinya. Rahmah menangkap sepasang mata yang begitu melekat di hatinya. Ternyata Pak Kiai hadir di tengah-tengah penonton. Beliau menganggukkan kepala dengan pelan, namun mantap. Beliau meyakinkan Rahmah kalau ia pasti bisa. Rahmah membalas anggukan tersebut dengan penuh kemantapan pula. Rahmah mulai meletakkan tangan kanannya pada mikrofon yang telah disiapkan sebelumnya. Dalam hatinya ia berniat untuk menyampaikan sebuah pesan yang semoga bermanfaat bagi semuanya. Ia akan melakukannya dengan ikhlas. Kali ini, ia tidak terlalu mengharap kemenangan. Ia serahkan semuanya kepada Allah. Kemudian mulailah Rahmah membuka mulut dan menyampaikan isi pidatonya.
Semua penonton, termasuk para juri, mendengarkan dengan saksama dari isi pidato Rahmah. Ruangan terasa hening saat Rahmah menyampaikan pidatonya yang berisikan peranan santri untuk kemajuan bangsa Indonesia. Rahmah mengajak kepada semua untuk kembali mengingat perjuangan para santri yang lebih banyak ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tercinta. Mereka merasakan penderitaan yang sangat berat. Namun, mereka begitu semangat dalam berjihad dan rela mati di tangan penjajah. Melihat fenomena tersebut, Rahmah menyampaikan bahwa sebagai generasi Indonesia yang telah merdeka, wajib untuk memperjuangkan kembali dengan cara belajar dan menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh untuk kemaslahatan bangsa Indonesia. Sekarang, rakyat Indonesia tinggal menikmati hasil dari kemerdekaan tersebut. Mencari ilmu di pondok pesantren adalah salah satu cara menikmati kemerdekaan yang telah dicapai. Tak ada lagi bahaya yang melanda dan ilmu dapat diperoleh dengan tenang dan aman.
Sorak sorai penonton dan gemuruh tepuk tangan menghiasi ruangan kompetisi saat Rahmah mengakhiri pidatonya. Rahmah kembali ke tempat duduknya dengan perasaan yang sangat lega. Pada saat ia menyampaikan pidatonya tadi, ia tidak merasakan grogi. Walaupun, awalnya sempat demam panggung, tetapi semua dapat diatasi. Rahmah menyampaikan pidatonya dengan penuh semangat. Semua penonton menjadi terpana dan seolah-olah terhipnotis dengan kata-kata Rahmah.
Pengumuman dibacakan pada akhir acara tersebut. Tangan Rahmah berkeringat. Jari-jemarinya bergetar. Lagi-lagi jantungnya berdegup kencang. Mulutnya masih terus bergerak-gerak. Kedua matanya ia pejamkan dan terus saja berdoa.
“Berikanlah yang terbaik untuk hamba, Ya Allah.” (ucap Rahmah dalam hati)
Hatinya terguncang saat namanya dipanggil sebagai pemenang kompetisi ini. Semua yang hadir memberikan selamat kepada Rahmah. Setelah acara selesai, Rahmah mencari Pak Kiai yang sedari pengumuman memang tidak terlihat. Ia bertanya kepada sahabatnya, namun sahabatnya tidak tahu jikalau Pak Kiai hadir di tempat tersebut. Sahabatnya tidak melihat Pak Kiai.
“Apa mungkin, ini hanya halusinasiku saja?” (batin Rahmah yang terus bertanya-tanya)
Sejenak ia melupakan kejadian itu. Ia kembali pada kemenangannya. Ia benar-benar tidak menyangka. Senyum merekah menghiasi bibir gadis ini. Perasaan haru tiba-tiba menyelimuti relung hatinya. Alhamdulillah. Rahmah berhasil.
Rahmah juga mendapatkan selamat dari orang Malaysia. Rahmah pun berkenalan dengan orang Malaysia tersebut. Mereka saling bertukar pikiran dan wawasan. Rahmah mencoba bertanya tentang pendapat orang-orang Malaysia terhadap santri Indonesia. Dan yang membuat Rahmah bangga adalah ketika mereka berpendapat bahwa santri Indonesia adalah santri yang paling sopan yang pernah ia temui. Mereka sangat menghormati guru, ilmu, dan menghormati sesama. Saat mereka berjalan, tiba-tiba ada Pak Kiai, maka mereka berhenti dan menundukkan kepala. Saat mereka berjalan di depan guru mereka, maka mereka berjalan menggunakan lutut. Mereka tidak akan mendahului ataupun membelakangi guru mereka. Di Malaysia memang diajarkan untuk sopan, namun di Indonesia jauh lebih sopan.
Rahmah tersenyum bangga mendengar pujian tersebut. Pengalaman-pengalaman tersebut akan menjadikannya lebih giat untuk belajar dan tentunya semakin cinta Indonesia. Pengalaman menakjubkan saat hidup di pondok, akan ia ceritakan kepada anak cucunya nanti, sebagai sebuah pelajaran berharga untuk kehidupan mereka.
Kini sang saka merah putih telah berada di ujung tiang. Berkibar dengan gagah diterpa angin. Semua santri memandang sang saka dengan penghormatan. Semua santri bertekad akan berusaha menjadi santri sejati yang akan memanfaatkan ilmunya bagi semua orang dan tentunya bagi nusa bangsa Indonesia. Santri berharap, Indonesia tercinta dapat menjadi negara yang semakin maju dan selalu menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Hal ini agar tercipta kemakmuran, keamanan, dan kedamaian bagi bangsa Indonesia sendiri. Generasi muda, khususnya santri akan selalu berkarya, sehingga Indonesia akan terus jaya. Indonesia Merdeka!
“Indonesia Raya Merdeka Merdeka,
Tanahku Negeriku yang Ku Cinta,
Indonesia Raya Merdeka Merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar