NASIHAT PAHLAWAN UFUK TIMUR
Allahu
akbar….
Allahu
akbar….
Takbir
berkumandang. Terdengar lirih dan lembut saat kalimat itu dilantunkan. Merasuk
ke dalam badan dan relung hati yang terdalam. Menggema di setiap sudut ruangan.
Perlahan matanya mulai terpejam dan terangkatlah kedua tangan. Kedua telapaknya
mengadap ke depan. Ia pusatkan pikiran dan melupakan segala persoalan. Menyerahkan
seluruh jiwa dan raganya kepada Tuhan.
Mentari
masih belum berani untuk menampakkan dirinya. Ia bersembunyi dan mengintip dari
balik mega. Hanya sedikit sinar yang ditampakkan dari celah persembunyiannya.
Sehingga terciptalah warna-warna indah yang terlukis di angkasa. Ayam berkokok
menyambut pagi. Bagai alarm yang berbunyi, dengan semangat dan lantang membangunkan
sejuta umat untuk segera bangun dari mimpi. Adzan subuh telah berkumandang
sejak tadi. Adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim untuk segera menghadap sang Ilahi.
Angin mengalun
menciptakan sebuah melodi pagi. Terdengar deritan jendela yang buka tutup,
terus berulang karena terkena angin. Diam-diam dinginpun masuk ke sebuah rumah
sederhana melewati celah jendela. Menyusup masuk mencari sang penghuni rumah.
Kelambu bergoyang-goyang dan terlihat bayangan dari baliknya. Dua perempuan
bermukena tengah mendirikan salat subuh berjamaah.
Rupanya sang imam
adalah seorang Ibu. Tubuh sang Ibu yang kurus itu, terbalut dalam mukena putih
yang tak lagi putih. Mukena yang bertahun-tahun tak pernah ganti itu, selalu
menemani ibadahnya. Walaupun wajah keriputnya sudah mulai terlihat, kantung
mata yang sudah nampak jelas, dan kulitnya yang mulai mengendur beberapa
sentimeter. Namun, semangat ibadahnya masih terus bergejolak. Ia masih semangat
untuk melaksanakan kewajibannya.
Paras sejuk sang Ibu
terlihat jelas karena air wudlu menghiasi tiap-tiap bagian wajahnya. Wajah
bersih dan lembut membuat siapa saja tidak akan bosan memandangnya.
Karakteristik wajahnya diturunkan kepada anak gadisnya. Gadis manis yang
sekarang berumur 18 tahun tengah mengikuti gerak sang Ibu. Ketika Ibu ruku’,
maka ia segera ruku’. Ketika Ibu melakukan sujud, maka ia pun mengikuti untuk
sujud. Begitulah yang ia lakukan sampai salat usai.
Setelah selasai salat,
sang putri segera mengulurkan tangan kanannya kepada sang Ibu. Ibu meraihnya
dengan senyum hangat. Sang putri mencium punggung tangan sang Ibu. Ibu mengelus
sebagian kepala putrinya dengan lembut. Matanya mulai berkaca. Mendesah pelan.
“Hari ini kau akan
berangkat, nduk. (nadanya serak) Ibu
hanya bisa berdoa, semoga kau bisa menjaga dirimu dengan baik disana.
Belajarlah sungguh-sungguh dan berhati-hatilah. Ingat selalu pesan Ibu dan
jangan lupa untuk selalu memberikan kabar kepada Ibu.” (Ibu berhenti mengelus)
“Terimakasih atas
doamu, Bu. Fatimah akan berusaha yang terbaik untuk Ibu. Fatimah pasti bisa
menjaga diri, Bu. Ibu jangan terlalu mengkhawatirkan Fatimah.” (ujar Fatimah)
Fatimah menggenggam
tangan Ibunya dengan hangat, berusaha meyakinkan Ibunya bahwa ia akan baik-baik
saja. Ia akan berangkat ke Semarang pagi ini. Ia akan menimba ilmu di sana.
Lebih tepatnya kuliah sambil mondok.
Ibu menatap kedua mata
Fatimah yang berbinar. Diam-diam mata Ibu mulai basah. Berulang kali beliau
menyeka air matanya. Beliau tak menyangka bila harus berpisah dengan putri
semata wayangnya itu. Hatinya begitu berat untuk melepas kepergian sang putri.
Pikiran khawatir pasti akan terus menghantui dirinya. Oh, andai saja ada
universitas di daerahnya, mungkin Fatimah tak perlu pergi jauh ke Semarang. Ibu
ingin selalu berada di dekat Fatimah supaya bisa terus mengawasi dan
menjaganya. Namun, menuntut ilmu adalah suatu hal yang wajib. Jadi, mau tak
mau, apa yang menjadikan Fatimah lebih baik, maka akan dituruti oleh Ibu.
Memori Ibu terbang
kembali ke masa kecilnya. Ia ingat betapa sulitnya untuk sekolah. Ibu menghela
nafas panjang dan mulai berbicara kembali.
“Fatimah… (panggil Ibu
dengan lembut) Apakah Fatimah tahu? Zaman dulu, orang apalagi wanita sangat
sulit untuk mendapatkan pendidikan. Ini berdasarkan pengalaman Ibu. Setelah
lulus dari SD, Ibu berniat untuk melanjutkan ke SMP. Namun, hal itu sangat
sulit. Kau tahu sendiri sifat keras kepala kakekmu, kan? Ibu tak diijinkan
untuk melanjutkan sekolah. Menurut beliau, sekolah hanya membuang duit, lebih
baik bekerja saja membantu nenekmu memproduksi tempe. Emansipasi wanita
ternyata belum berpengaruh pada jalan pikiran kakekmu. Yah… (menghembuskan
nafas panjang) Mau tak mau, Ibu tak bisa mengelaknya. Sampai Ibu menangis
jungkir balik, mata Ibu merah dan kering karena saking seringnya Ibu menangis,
kakekmu tetap tak mengijinkan. Alhasil, Ibu menuruti saja perintah kakekmu
itu.”
Fatimah menyemak cerita
Ibu dengan saksama. Mata Ibu mulai menerawang jauh menembus masa lalunya.
“Tiap pagi Ibu harus
membawa satu karung tempe untuk dijual di pasar pagi. Jarak dari rumah ke pasar
mungkin sekitar tiga kilometer dan ditempuh dengan jalan kaki. Kau tahu? Hati
Ibu sakit saat melihat teman-teman Ibu memakai seragam putih biru. Mereka
dengan rapi menenteng buku, sedangkan Ibu… (Ibu tak melanjutkan kata-katanya) Ahhh,
takdir sudah menjadikan Ibu seperti itu. Percuma jika Ibu terus menggerutu dan
ngomel-ngomel sendiri. Setelah beberapa tahun Ibu berjualan tempe, Ibu mulai
bosan. Ibu ingin sesuatu yang baru. Akhirnya, beralih dari penjual tempe
menjadi penjual rokok & kacang di terminal. Ibu menentengnya dan menawarkan
kepada orang-orang di terminal. Sungguh, jika Ibu mengingatnya, begitu mirisnya
nasib Ibumu ini.
Terminal adalah tempat
yang buruk. Preman dan copet, serta orang-orang nakal berkumpul disana. Kata-kata
kasar sering mereka lontarkan dari mulut mereka. Kenakalan-kenakalan mereka
juga sering dilakukan. Pernah suatu ketika, saat Ibu hendak pulang dari
berjualan, Ibu masuk ke angkutan umum yang saat itu masih kosong. Belum ada
satupun orang yang berada didalamnya kecuali Ibu. Tiba-tiba seorang pria bertubuh
kekar dan berwajah sangar masuk ke dalam. Ia memperhatikan Ibu dari bawah ke
atas. Bola matanya berkali-kali naik dan turun. Perasaan Ibu tak enak, Ibu
sangat takut. Ibu sangat risih dengan kelakuan pria tersebut. Akhirnya, Ibu
memutuskan untuk keluar dari angkutan umum itu. Benar dugaan Ibu, saat Ibu
hendak keluar, pria itu mencegat Ibu. Minta tolongpun percuma karena keadaan di
luar sangat sepi. Ibu harus segera mengambil tindakan. Ibu merogoh saku dan Ibu
mendapatkan dompet kain yang berisi uang receh. Karena panik, Ibu memukul pria
itu sejadi-jadinya menggunakan dompet itu. Ternyata uang recehan itu lumayan
banyak. Ibu memukul kepalanya menggunakan dompet yang berisi uang recehan itu, dan
ia sangat kesakitan. Ia keluar dari angkutan umum tersebut dan memegangi
kepalanya yang sakit. Ibu keluar dan menertawai pria itu. Makanya jangan pernah
sekali-kali melawan Ibu. Kalau dipikir-pikir, Ibu sangat berani waktu itu.
Dengarlah, nduk. Kau sebagai seorang wanita selain
memiliki sifat lembut dan anggun, juga harus menjadi wanita pemberani dan
tangguh. Sifat anggun dan lembut dari seorang wanita pastinya ada tempatnya.
Tidak selamanya seorang wanita harus selalu anggun dan lembut. Tetapi, ada
kalanya seorang wanita harus bersikap tegas. Semua yang dimiliki wanita harus
dilindungi dan harus dijaga. Jaga semuanya, nduk.
Berhati-hatilah.” (Ibu menatap Fatimah dalam, kemudian melanjutkan ceritanya)
“Setelah Ibu tertawa
puas, pria itu mengumpat sejadi-jadinya. Ibu diolok-olok dan disamakan dengan
binatang berkaki empat. Sungguh perkataan yang buruk itu telah menyakitkan hati
Ibu. Karena Ibu tak terima, Ibu langsung melaporkan kejadian itu ke petugas
keamanan yang pada waktu itu ada jadwal untuk keliling di terminal. Ibu disuruh
menyelesaikan persoalan itu di meja hijau. Lagi-lagi karena sifat berani Ibu,
akhirnya Ibu menyetujuinya. Ibu pergi ke pengadilan dan menyelesaikan masalah
tersebut sendiri. Sejak saat itu, tak ada lagi pria yang berani mengganggu Ibu.
Bahkan, ketua preman di terminal tersebut juga tak berani mengganggu Ibu.
Pernah ia mendekati Ibu, ia berkata bahwa ia tak akan mengganggu Ibu. Ia hanya ingin
membeli sepuntung rokok kesukaannya. Katanya ia tak mungkin menganggu seorang
wanita seperti Ibu, ia akan berpikir berulang kali jika ingin mengganggu Ibu.
Dalam melakukan aksinya, ia akan pilih-pilih. Seorang seperti Ibu, tak akan
pernah diganggu olehnya. Bahkan, sampai saat ini pun, jika ia lewat depan rumah
kita, ia menyapa Ibu dengan baik. Semuanya tergantung pada diri kita sendiri, nduk. Apa yang kita lakukan, jika itu
baik, maka akan kembali kebaikan itu. Sebaliknya, jika itu buruk, maka yang
akan kembali adalah hal yang buruk. Semua akan kembali kepada pribadi kita
masing-masing.
Nduk,
sampai hari ini, Ibu belum pernah menceritakan kejadiaan tersebut kepada
siapapun kecuali kamu. Bahkan, Ibu juga tidak menceritakannya pada nenekmu.
Biarlah pengalaman Ibu ini menjadi pelajaran untukmu. Pengalaman adalah guru
terbaik. Jadilah wanita pemberani namun tetap menjaga sifat-sifat yang telah
melekat pada diri seorang wanita. Tetaplah anggun, lembut, sopan, dan bisa
menjaga harga diri. Ibu percaya kau bisa melakukannya. Maka, Ibu mohon kepadamu
janganlah kamu mengecewakan Ibu, nduk.”
(Ibu menatap mata putrinya semakin dalam)
Fatimah memeluk sang
Ibu.
“Bu, Fatimah akan
berusaha yang terbaik untuk Ibu. Insyaallah, Fatimah tidak akan mengecewakan
Ibu. Terimakasih atas semua yang telah Ibu berikan kepada Fatimah. Fatimah akan
selalu ingat nasihat-nasihat Ibu. Fatimah sayang Ibu. Terimakasih, terimakasih,
terimakasih, Ibu.” (wajah teduh Fatimah menghadap lurus ke mata sang Ibu).
Perlahan air mata
Fatimah mulai mengalir, membasahi mukenanya. Ia semakin erat memeluk sang Ibu.
Benaknya berkata, “Ibu, kau adalah pahlawanku. Kau korbankan apapun untuk
kebaikanku. Sesungguhnya aku tak tahu harus membalas dengan apa. Aku ingin
membahagiakanmu, Ibu. Ibu, terimakasih atas nasihatmu yang penuh manfaat ini.
Nasihatmu akan aku ingat dan aku laksanakan. Walaupun kita akan berpisah, namun
kau akan selalu dekat denganku, ada di relung hatiku.” Fatimah semakin erat
memeluk Ibu.
Mentari pagi mulai
memperlihatkan wujudnya dan menyapa seluruh jagad raya. Sinarnyanya yang begitu
cerah menggebrakkan semangat untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Mentari
tersenyum, mengajak semua menuju pada kehidupan yang bahagia. Memulai hari ini
untuk lebih baik dari hari yang lalu. Melangkah menuju cita-cita masa depan
yang gemilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar