Minggu, 27 November 2016

CERPEN

NASIHAT PAHLAWAN UFUK TIMUR

Allahu akbar….
Allahu akbar….
Takbir berkumandang. Terdengar lirih dan lembut saat kalimat itu dilantunkan. Merasuk ke dalam badan dan relung hati yang terdalam. Menggema di setiap sudut ruangan. Perlahan matanya mulai terpejam dan terangkatlah kedua tangan. Kedua telapaknya mengadap ke depan. Ia pusatkan pikiran dan melupakan segala persoalan. Menyerahkan seluruh jiwa dan raganya kepada Tuhan.
Mentari masih belum berani untuk menampakkan dirinya. Ia bersembunyi dan mengintip dari balik mega. Hanya sedikit sinar yang ditampakkan dari celah persembunyiannya. Sehingga terciptalah warna-warna indah yang terlukis di angkasa. Ayam berkokok menyambut pagi. Bagai alarm yang berbunyi, dengan semangat dan lantang membangunkan sejuta umat untuk segera bangun dari mimpi. Adzan subuh telah berkumandang sejak tadi. Adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim untuk segera menghadap sang Ilahi.
Angin mengalun menciptakan sebuah melodi pagi. Terdengar deritan jendela yang buka tutup, terus berulang karena terkena angin. Diam-diam dinginpun masuk ke sebuah rumah sederhana melewati celah jendela. Menyusup masuk mencari sang penghuni rumah. Kelambu bergoyang-goyang dan terlihat bayangan dari baliknya. Dua perempuan bermukena tengah mendirikan salat subuh berjamaah.
Rupanya sang imam adalah seorang Ibu. Tubuh sang Ibu yang kurus itu, terbalut dalam mukena putih yang tak lagi putih. Mukena yang bertahun-tahun tak pernah ganti itu, selalu menemani ibadahnya. Walaupun wajah keriputnya sudah mulai terlihat, kantung mata yang sudah nampak jelas, dan kulitnya yang mulai mengendur beberapa sentimeter. Namun, semangat ibadahnya masih terus bergejolak. Ia masih semangat untuk melaksanakan kewajibannya.
Paras sejuk sang Ibu terlihat jelas karena air wudlu menghiasi tiap-tiap bagian wajahnya. Wajah bersih dan lembut membuat siapa saja tidak akan bosan memandangnya. Karakteristik wajahnya diturunkan kepada anak gadisnya. Gadis manis yang sekarang berumur 18 tahun tengah mengikuti gerak sang Ibu. Ketika Ibu ruku’, maka ia segera ruku’. Ketika Ibu melakukan sujud, maka ia pun mengikuti untuk sujud. Begitulah yang ia lakukan sampai salat usai.
Setelah selasai salat, sang putri segera mengulurkan tangan kanannya kepada sang Ibu. Ibu meraihnya dengan senyum hangat. Sang putri mencium punggung tangan sang Ibu. Ibu mengelus sebagian kepala putrinya dengan lembut. Matanya mulai berkaca. Mendesah pelan.
“Hari ini kau akan berangkat, nduk. (nadanya serak) Ibu hanya bisa berdoa, semoga kau bisa menjaga dirimu dengan baik disana. Belajarlah sungguh-sungguh dan berhati-hatilah. Ingat selalu pesan Ibu dan jangan lupa untuk selalu memberikan kabar kepada Ibu.” (Ibu berhenti mengelus)
“Terimakasih atas doamu, Bu. Fatimah akan berusaha yang terbaik untuk Ibu. Fatimah pasti bisa menjaga diri, Bu. Ibu jangan terlalu mengkhawatirkan Fatimah.” (ujar Fatimah)
Fatimah menggenggam tangan Ibunya dengan hangat, berusaha meyakinkan Ibunya bahwa ia akan baik-baik saja. Ia akan berangkat ke Semarang pagi ini. Ia akan menimba ilmu di sana. Lebih tepatnya kuliah sambil mondok.
Ibu menatap kedua mata Fatimah yang berbinar. Diam-diam mata Ibu mulai basah. Berulang kali beliau menyeka air matanya. Beliau tak menyangka bila harus berpisah dengan putri semata wayangnya itu. Hatinya begitu berat untuk melepas kepergian sang putri. Pikiran khawatir pasti akan terus menghantui dirinya. Oh, andai saja ada universitas di daerahnya, mungkin Fatimah tak perlu pergi jauh ke Semarang. Ibu ingin selalu berada di dekat Fatimah supaya bisa terus mengawasi dan menjaganya. Namun, menuntut ilmu adalah suatu hal yang wajib. Jadi, mau tak mau, apa yang menjadikan Fatimah lebih baik, maka akan dituruti oleh Ibu.
Memori Ibu terbang kembali ke masa kecilnya. Ia ingat betapa sulitnya untuk sekolah. Ibu menghela nafas panjang dan mulai berbicara kembali.
“Fatimah… (panggil Ibu dengan lembut) Apakah Fatimah tahu? Zaman dulu, orang apalagi wanita sangat sulit untuk mendapatkan pendidikan. Ini berdasarkan pengalaman Ibu. Setelah lulus dari SD, Ibu berniat untuk melanjutkan ke SMP. Namun, hal itu sangat sulit. Kau tahu sendiri sifat keras kepala kakekmu, kan? Ibu tak diijinkan untuk melanjutkan sekolah. Menurut beliau, sekolah hanya membuang duit, lebih baik bekerja saja membantu nenekmu memproduksi tempe. Emansipasi wanita ternyata belum berpengaruh pada jalan pikiran kakekmu. Yah… (menghembuskan nafas panjang) Mau tak mau, Ibu tak bisa mengelaknya. Sampai Ibu menangis jungkir balik, mata Ibu merah dan kering karena saking seringnya Ibu menangis, kakekmu tetap tak mengijinkan. Alhasil, Ibu menuruti saja perintah kakekmu itu.”
Fatimah menyemak cerita Ibu dengan saksama. Mata Ibu mulai menerawang jauh menembus masa lalunya.
“Tiap pagi Ibu harus membawa satu karung tempe untuk dijual di pasar pagi. Jarak dari rumah ke pasar mungkin sekitar tiga kilometer dan ditempuh dengan jalan kaki. Kau tahu? Hati Ibu sakit saat melihat teman-teman Ibu memakai seragam putih biru. Mereka dengan rapi menenteng buku, sedangkan Ibu… (Ibu tak melanjutkan kata-katanya) Ahhh, takdir sudah menjadikan Ibu seperti itu. Percuma jika Ibu terus menggerutu dan ngomel-ngomel sendiri. Setelah beberapa tahun Ibu berjualan tempe, Ibu mulai bosan. Ibu ingin sesuatu yang baru. Akhirnya, beralih dari penjual tempe menjadi penjual rokok & kacang di terminal. Ibu menentengnya dan menawarkan kepada orang-orang di terminal. Sungguh, jika Ibu mengingatnya, begitu mirisnya nasib Ibumu ini.
Terminal adalah tempat yang buruk. Preman dan copet, serta orang-orang nakal berkumpul disana. Kata-kata kasar sering mereka lontarkan dari mulut mereka. Kenakalan-kenakalan mereka juga sering dilakukan. Pernah suatu ketika, saat Ibu hendak pulang dari berjualan, Ibu masuk ke angkutan umum yang saat itu masih kosong. Belum ada satupun orang yang berada didalamnya kecuali Ibu. Tiba-tiba seorang pria bertubuh kekar dan berwajah sangar masuk ke dalam. Ia memperhatikan Ibu dari bawah ke atas. Bola matanya berkali-kali naik dan turun. Perasaan Ibu tak enak, Ibu sangat takut. Ibu sangat risih dengan kelakuan pria tersebut. Akhirnya, Ibu memutuskan untuk keluar dari angkutan umum itu. Benar dugaan Ibu, saat Ibu hendak keluar, pria itu mencegat Ibu. Minta tolongpun percuma karena keadaan di luar sangat sepi. Ibu harus segera mengambil tindakan. Ibu merogoh saku dan Ibu mendapatkan dompet kain yang berisi uang receh. Karena panik, Ibu memukul pria itu sejadi-jadinya menggunakan dompet itu. Ternyata uang recehan itu lumayan banyak. Ibu memukul kepalanya menggunakan dompet yang berisi uang recehan itu, dan ia sangat kesakitan. Ia keluar dari angkutan umum tersebut dan memegangi kepalanya yang sakit. Ibu keluar dan menertawai pria itu. Makanya jangan pernah sekali-kali melawan Ibu. Kalau dipikir-pikir, Ibu sangat berani waktu itu.
Dengarlah, nduk. Kau sebagai seorang wanita selain memiliki sifat lembut dan anggun, juga harus menjadi wanita pemberani dan tangguh. Sifat anggun dan lembut dari seorang wanita pastinya ada tempatnya. Tidak selamanya seorang wanita harus selalu anggun dan lembut. Tetapi, ada kalanya seorang wanita harus bersikap tegas. Semua yang dimiliki wanita harus dilindungi dan harus dijaga. Jaga semuanya, nduk. Berhati-hatilah.” (Ibu menatap Fatimah dalam, kemudian melanjutkan ceritanya)
“Setelah Ibu tertawa puas, pria itu mengumpat sejadi-jadinya. Ibu diolok-olok dan disamakan dengan binatang berkaki empat. Sungguh perkataan yang buruk itu telah menyakitkan hati Ibu. Karena Ibu tak terima, Ibu langsung melaporkan kejadian itu ke petugas keamanan yang pada waktu itu ada jadwal untuk keliling di terminal. Ibu disuruh menyelesaikan persoalan itu di meja hijau. Lagi-lagi karena sifat berani Ibu, akhirnya Ibu menyetujuinya. Ibu pergi ke pengadilan dan menyelesaikan masalah tersebut sendiri. Sejak saat itu, tak ada lagi pria yang berani mengganggu Ibu. Bahkan, ketua preman di terminal tersebut juga tak berani mengganggu Ibu. Pernah ia mendekati Ibu, ia berkata bahwa ia tak akan mengganggu Ibu. Ia hanya ingin membeli sepuntung rokok kesukaannya. Katanya ia tak mungkin menganggu seorang wanita seperti Ibu, ia akan berpikir berulang kali jika ingin mengganggu Ibu. Dalam melakukan aksinya, ia akan pilih-pilih. Seorang seperti Ibu, tak akan pernah diganggu olehnya. Bahkan, sampai saat ini pun, jika ia lewat depan rumah kita, ia menyapa Ibu dengan baik. Semuanya tergantung pada diri kita sendiri, nduk. Apa yang kita lakukan, jika itu baik, maka akan kembali kebaikan itu. Sebaliknya, jika itu buruk, maka yang akan kembali adalah hal yang buruk. Semua akan kembali kepada pribadi kita masing-masing.
Nduk, sampai hari ini, Ibu belum pernah menceritakan kejadiaan tersebut kepada siapapun kecuali kamu. Bahkan, Ibu juga tidak menceritakannya pada nenekmu. Biarlah pengalaman Ibu ini menjadi pelajaran untukmu. Pengalaman adalah guru terbaik. Jadilah wanita pemberani namun tetap menjaga sifat-sifat yang telah melekat pada diri seorang wanita. Tetaplah anggun, lembut, sopan, dan bisa menjaga harga diri. Ibu percaya kau bisa melakukannya. Maka, Ibu mohon kepadamu janganlah kamu mengecewakan Ibu, nduk.” (Ibu menatap mata putrinya semakin dalam)
Fatimah memeluk sang Ibu.
“Bu, Fatimah akan berusaha yang terbaik untuk Ibu. Insyaallah, Fatimah tidak akan mengecewakan Ibu. Terimakasih atas semua yang telah Ibu berikan kepada Fatimah. Fatimah akan selalu ingat nasihat-nasihat Ibu. Fatimah sayang Ibu. Terimakasih, terimakasih, terimakasih, Ibu.” (wajah teduh Fatimah menghadap lurus ke mata sang Ibu).
Perlahan air mata Fatimah mulai mengalir, membasahi mukenanya. Ia semakin erat memeluk sang Ibu. Benaknya berkata, “Ibu, kau adalah pahlawanku. Kau korbankan apapun untuk kebaikanku. Sesungguhnya aku tak tahu harus membalas dengan apa. Aku ingin membahagiakanmu, Ibu. Ibu, terimakasih atas nasihatmu yang penuh manfaat ini. Nasihatmu akan aku ingat dan aku laksanakan. Walaupun kita akan berpisah, namun kau akan selalu dekat denganku, ada di relung hatiku.” Fatimah semakin erat memeluk Ibu.
Mentari pagi mulai memperlihatkan wujudnya dan menyapa seluruh jagad raya. Sinarnyanya yang begitu cerah menggebrakkan semangat untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Mentari tersenyum, mengajak semua menuju pada kehidupan yang bahagia. Memulai hari ini untuk lebih baik dari hari yang lalu. Melangkah menuju cita-cita masa depan yang gemilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar