Minggu, 27 November 2016

CERPEN

SAAT LIDAH TERTEKUK

Cahaya mentari pagi seperti biasa mulai menyapa seluruh makhluk hidup di belahan bumi bagian timur. Kumandang adzan pun mulai diperdengarkan. Berjuta umat muslim bangun dan bangkit dari alam mimpi mereka. Tak jarang dari mereka yang masih menikmati asyiknya bermain di dunia luar, di dalam jutaan ruang mimpi, dibawah hangatnya selimut dan nyamannya kasur.
Kali ini Nurul terbangun untuk kedua kalinya. Setelah melakukan qiyamul lail tadi pagi, ia melanjutkan tidurnya kembali. Dengan mata yang masih berat, ia paksakan untuk bangun kembali dan mendirikan salat subuh bersama ibunya. Setelah itu, ia berniat untuk melanjutkan mimpinya. Pagi itu memang sangat dingin dan menggoda Nurul untuk tidur kembali. Ia kembali meringkuk di bawah balutan selimut. Sang Ibu tak melarang kelakuan anak gadisnya itu. Hari itu adalah hari libur dan Ibu memahami bahwa tadi malam Nurul pulang sangat larut karena ada rapat remaja masjid (remas) membahas tentang rebana yang akan tampil di acara Halal bi Halal hari ini.
“Nurul pasti sangat kelelahan. Biarkan saja dulu. Aku akan membangunkannya nanti.” (kata sang Ibu dalam hati)
Silaunya sinar mentari perlahan menembus jendela kamar Nurul. Masuk diantara sela-sela korden yang sedikit terbuka. Matanya langsung menerima rangsangan cahaya tersebut dengan memberikan respon berkedip beberapa kali. Tangan kecil sang adik menepuk-nepuk punggung Nurul. Kemudian menyeret selimut dan menggoyangkan tubuh Nurul dengan keras. Tubuh Nurul merasakan goncangan yang semakin lama semakin dahsyat.
“Mbaaaa, bangun, Mba Nuruuuul! Udah jam 07.00, nih.” (teriak Hikmah sambil terus menggoyangkan tubuh Nurul)
Mata Nurul terbuka sedikit demi sedikit. Ia menggeliat dan menguap lebar.
“Hooaamm, uuh…. Iya, dek. Iya, mb Nurul bangun.”
Nurul berjalan sempoyongan menuju ruang keluarga. Dilihatnya ayah dan ibu sedang minum teh hangat bersama. Hikmah langsung menyerobot duduk di tengah-tengah mereka. Nurul hanya melirik sebentar dan bergegas menuju kamar mandi.
“Huft…. Pekerjaan mingguan datang.” (gumam Nurul dalam hati)
Satu ember penuh berisi piring, gelas, dan sendok kotor. Dua ember penuh berisi pakaian keluarga yang juga kotor. Nurul bersiap untuk menyambut pekerjaan liburannya. Ia segera menyisingkan lengan baju dan mulai bersemangat mengerjakannya. Ia tak pernah mengeluh dengan pekerjaannya itu. Nurul sadar bahwa itu telah menjadi kewajibannya membantu sang Ibu. Kalau bukan hari libur, kapan lagi? Liburan kuliah kali ini, ia sempatkan untuk memberikan seluruh tenaganya untuk membantu pekerjaan rumah ibunya. Selama kuliah satu semester, Nurul tak pernah pulang. Jadi, kesempatan liburannya tak akan ia sia-siakan.
Setelah semua pekerjaan selesai, ia bergabung bersama kedua orang tuanya dan Hikmah di ruang keluarga. Ia menyeruput satu cangkir teh yang ternyata sudah dingin. Ia tak menghiraukan minumannya itu. Bagi Nurul, apapun tehnya, jika yang membuat adalah ibunya, maka selalu is-ti-me-wa.
“Bu, si Alim udah berangkat?” (tanya Nurul setelah meneguk minumannya)
“Udah. Adikmu itu harus berangkat pagi, soalnya ada piket pondok.” (Ibu menjelaskan)
“Oooh…” (jawab Nurul dengan singkat)
Adik pertama Nurul ini berusia 15 tahun. Sama seperti Nurul, selain mengenyam pendidikan di sekolah umum, Alim juga mondok di salah satu pesantren yang lumayan dekat dengan rumahnya. Jadi, ia sering bolak-balik, pulang-pergi ke pondok. Kali ini, Alim juga sedang liburan. Tetapi, selama liburan setiap santri harus melaksanakan piket harian sesuai jadwal masng-masing untuk mengurus pondok. Hari ini merupakan jadwal piket Alim.
Ibu meninggalkan ruang keluarga setelah secangkir teh dihabiskan. Ia menuju ruang kerjanya untuk segera menyelesaikan pekerjaan menjahitnya. Tak beberapa lama, ayah menyusul. Ayah meninggalkan ruang keluarga dan bergegas pergi mengurus kebunnya. Tinggalah Nurul dan Hikmah di ruang tamu.
“Emmm…. Mba Nurul, tadi pagi, Mba Nurul sama Mas Alim ngomong apa, sih ke ibu? Kata ayah, ibu nangis.” (Tanya Hikmah ingin tahu)
“Lho, dek…. Ibu nangis? Mba enggak tahu ngomong apa? Emang Mba Nurul ngomong apa tadi? Perasaan enggak ada yang salah, deh.” (Nurul mengernyitkan keningnya)
“Enggak tahu. (Hikmah mengangkat kedua bahunya) Coba tanya langsung ke ibu.” (Hikmah memberikan saran)
“Hmmm.… Baiklah, nanti Insyaallah mba Nurul nanya ibu.” (Nurul khawatir dan mulali merasa bersalah)
Nurul bergegas mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Alim. Ia menanyakan apa yang tadi Hikmah tanyakan kepadanya. Balasannpun segera ia dapat. Alim juga tidak tahu apa yang sudah ia katakan kepada ibu. Ia merasa tidak ada yang salah. Alim pun meminta Nurul untuk memohonkan maaf kepada ibunya.
Nurul memberanikan diri untuk bertanya kepada Ibu. Perlahan ia mendekati ruang kerja Ibu. Dilihatnya punggung ibu yang melengkung saat sedang menjahit. Kakinya menginjak dinamo dengan lembut. Deru mesin jahit terdengar jelas di ruangan ini. Nurul memperhatikan selembar kain putih yang mulai disatukan oleh benang jahit. Sepertinya ibu sedang membuat baju gamis.
Nurul menyentuh pundak ibu dengan senyum khawatir. Ibu segera menoleh dan mendapati wajah Nurul yang tepat berada dibelakangnya. Ibu tersenyum kecil, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Nurul menggeret sebuah kursi yang tak jauh dari posisinya dan kemudian didekatkan dengan kursi ibu. Perlahan ia duduk dan memperhatikan kain putih yang sedang dijahit.
“Itu baju siapa ,bu?” (Nurul mulai membuka mulut)
“Bajumu.” (Ibu menjawab singkat)
“Bajuku?” (Nurul mengernyitkan dahinya)
“Iya, nanti kau akan ikut rebana, kan? Nanti pakai baju ini. Ini gamis putih.” (Ibu menjelaskan)
“Oooh… hemmm… makasih ya, bu.” (Nurul mengannguk dan tersenyum)
            Ibu membalas senyumannya. Nurul semakin merasa bersalah. Setelah Nurul perhatikan, mata ibu memang terlihat sedikit sembab dan merah. Berarti ibu memang benar-benar menangis tadi pagi.
Nurul semakin bingung dan takut untuk bertanya. Mulutnya serasa seperti dilem. Ia tak bisa membuka kedua bibirnya. Lidahnya kelu. Tenggorokannya kering. Berkali-kali ia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya. Sepatah kata pun tak berani ia keluarkan lagi. Diam-diam Nurul meremas jari jemarinya. Tangannya basah karena keringat dingin yang mulai bercucuran. Udara di ruang jahit tidak seperti biasanya terasa sesak. Atmosfer dalam ruangan tersebut menjadi tak karuan. Tiba-tiba ia merasa tak bisa menggerakan tubuhnya. Semuanya kaku. Nurul merasa dirinya benar-benar kacau. Ia ingin lari dari ruangan itu. Namun, hatinya tetap ingin tinggal.
“Aku harus ngomong. Aku harus minta maaf.” (Nurul berkata dalam benaknya dan memantapkan dirinya)
“Bu.” (panggil Nurul kepada ibunya dengan hati-hati) Ibu menoleh.
“Heeeehhhh…. (Nurul menarik nafas panjang dan menghembuskannya) Nurul mau minta maaf. Nurul minta maaf atas segala ucapan dan perbuatan Nurul yang telah menyakiti perasaan ibu. Sebenarnya Nurul masih belum tahu, apa kesalahan Nurul? Ibu, Nurul mohon penjelasan dari ibu.” (Nurul menundukkan kepalanya) Ibu menghentikan pekerjaannya dan tersenyum.
“Nurul, tanpa kamu minta maaf, sesungguhnya ibu telah memaafkan kamu. Kamu tahu Nurul, tadi pagi selepas kita salat subuh jamaah, ibu bertanya kepadamu, ‘kenapa kamu pulang sampai larut malam?’ Sesungguhnya Ibu hanya ingin penjelasan dan jawaban yang jelas dari Nurul. Tetapi kamu menjawabnya seperti ini, ‘Pulang jam 11 kan enggak terlalu malam daripada jam 12.’ Dan kamu menjawab dengan ketus. Ya, ibu tahu lah kalau jam 11 lebih awal daripada jam 12. Kamu ini perempuan, Nurul. Ibu khawatir. Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Asal kamu tahu, Nurul, tadi malam sebenarnya ibu sudah sangat mengantuk. Ibu ingin segera istirahat karena kecapaian bekerja sehari penuh. Namun, ibu melihat kamarmu yang masih berantakan karena baju-baju yang masih belum dilipat. Ibu melipatnya sendiri dengan tujuan agar nanti jika kamu pulang, kamu langsung tidur dengan nyaman. Tetapi kenapa saat ibu bertanya seperti itu tadi pagi, kamu malah menjawabnya dengan cara seperti itu?” (Ibu menghentikan perkataannya)
Wajah Nurul semakin menunduk. Ia tak berani menatap wajah sang ibu. Hatinya sangat terpukul mendengar penjelasan ibu. Ia merasa sangat jahat, durhaka dan tidak tahu perasaan ibunya. Nurul sangat ingin menitikkan air mata, namun ia menahannya. Dadanya terasa sesak. Ia sangat menyesal dan bersalah.
“Setelah itu, adikmu, Alim. Ia berangkat dengan sangat terburu-buru. Saat ibu menawarkan untuk sarapan terlebih dahulu, ia langsung menolaknya dengan berkata seperti ini, ‘Nanti kalau Alim terlambat, didenda 30.000, mau?’ Jawabanmu dan jawaban adikmu telah menyakiti hati ibu. Ibu tak tahu apa yang terjadi di pagi ini? Kenapa semua seperti ini sama ibu?” (Ibu tak melanjutkan kata-katanya lagi)
“Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi padaku dan pada diri adikku? Kenapa kami tak bisa mengontrol lidah kami sendiri? Maafkan kami. Berikanlah kami yang terbaik, Ya Allah.” (hati Nurul menjerit)
Nurul membuka wajahnya dan memberanikan diri untuk menatap mata ibunya. Mereka saling menatap dalam. Air mata Nurul mulai menetes, meluncur melewati permukaan pipinya yang lembut. Nurul memeluk hangat ibu. Alim yang ternyata sudah pulang dari piket pondoknya, sedari tadi telah berada di ambang pintu dan telah mendengar semua penjelasan ibu, segera merangkul dan memeluk ibu.
“Ibu, Nurul sama Alim minta maaf yang sebesar-besarnya. Maafkan kami, bu. Karena kami, ibu jadi nangis. Kami benar-benar menyesal. Kami janji, kami tidak akan membuat ibu menangis lagi. Kami sayang ibu.”
Dalam benak Nurul, ia berkata, “Terkadang apa yang kita ucapkan tidak semuanya baik di telinga orang lain. Apa yang menurut kita benar, belum tentu benar di telinga orang lain. Kita tidak boleh egois. Kita tidak boleh menang sendiri. Sebaiknya, kita mampu menahan diri kita dan mampu menahan lisan kita. Berhati-hatilah dalam menggerakan lidah ini. Ucapan yang baik akan melahirkan kepribadian yang baik. Begitupun sebaliknya, ucapan yang buruk juga akan melahirkan kepribadian yang buruk. Ucapan yang keluar dari lisan ini adalah identitas bagi diri kita sendiri. Apa yang telah terjadi pada Nurul, akan menjadikannya sebagai pengalaman sekaligus pelajaran yang berharga bagi kehidupannya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar