SAAT LIDAH TERTEKUK
Cahaya
mentari pagi seperti biasa mulai menyapa seluruh makhluk hidup di belahan bumi
bagian timur. Kumandang adzan pun mulai diperdengarkan. Berjuta umat muslim
bangun dan bangkit dari alam mimpi mereka. Tak jarang dari mereka yang masih
menikmati asyiknya bermain di dunia luar, di dalam jutaan ruang mimpi, dibawah
hangatnya selimut dan nyamannya kasur.
Kali
ini Nurul terbangun untuk kedua kalinya. Setelah melakukan qiyamul lail tadi pagi, ia melanjutkan tidurnya kembali. Dengan
mata yang masih berat, ia paksakan untuk bangun kembali dan mendirikan salat
subuh bersama ibunya. Setelah itu, ia berniat untuk melanjutkan mimpinya. Pagi
itu memang sangat dingin dan menggoda Nurul untuk tidur kembali. Ia kembali
meringkuk di bawah balutan selimut. Sang Ibu tak melarang kelakuan anak
gadisnya itu. Hari itu adalah hari libur dan Ibu memahami bahwa tadi malam Nurul
pulang sangat larut karena ada rapat remaja masjid (remas) membahas tentang
rebana yang akan tampil di acara Halal bi Halal hari ini.
“Nurul pasti sangat kelelahan. Biarkan saja dulu.
Aku akan membangunkannya nanti.” (kata
sang Ibu dalam hati)
Silaunya
sinar mentari perlahan menembus jendela kamar Nurul. Masuk diantara sela-sela
korden yang sedikit terbuka. Matanya langsung menerima rangsangan cahaya
tersebut dengan memberikan respon berkedip beberapa kali. Tangan kecil sang
adik menepuk-nepuk punggung Nurul. Kemudian menyeret selimut dan menggoyangkan
tubuh Nurul dengan keras. Tubuh Nurul merasakan goncangan yang semakin lama
semakin dahsyat.
“Mbaaaa,
bangun, Mba Nuruuuul! Udah jam 07.00, nih.” (teriak Hikmah sambil terus
menggoyangkan tubuh Nurul)
Mata
Nurul terbuka sedikit demi sedikit. Ia menggeliat dan menguap lebar.
“Hooaamm,
uuh…. Iya, dek. Iya, mb Nurul bangun.”
Nurul
berjalan sempoyongan menuju ruang keluarga. Dilihatnya ayah dan ibu sedang
minum teh hangat bersama. Hikmah langsung menyerobot duduk di tengah-tengah
mereka. Nurul hanya melirik sebentar dan bergegas menuju kamar mandi.
“Huft…. Pekerjaan mingguan datang.” (gumam Nurul dalam hati)
Satu
ember penuh berisi piring, gelas, dan sendok kotor. Dua ember penuh berisi
pakaian keluarga yang juga kotor. Nurul bersiap untuk menyambut pekerjaan
liburannya. Ia segera menyisingkan lengan baju dan mulai bersemangat
mengerjakannya. Ia tak pernah mengeluh dengan pekerjaannya itu. Nurul sadar
bahwa itu telah menjadi kewajibannya membantu sang Ibu. Kalau bukan hari libur,
kapan lagi? Liburan kuliah kali ini, ia sempatkan untuk memberikan seluruh
tenaganya untuk membantu pekerjaan rumah ibunya. Selama kuliah satu semester,
Nurul tak pernah pulang. Jadi, kesempatan liburannya tak akan ia sia-siakan.
Setelah
semua pekerjaan selesai, ia bergabung bersama kedua orang tuanya dan Hikmah di
ruang keluarga. Ia menyeruput satu cangkir teh yang ternyata sudah dingin. Ia
tak menghiraukan minumannya itu. Bagi Nurul, apapun tehnya, jika yang membuat
adalah ibunya, maka selalu is-ti-me-wa.
“Bu,
si Alim udah berangkat?” (tanya Nurul setelah meneguk minumannya)
“Udah.
Adikmu itu harus berangkat pagi, soalnya ada piket pondok.” (Ibu menjelaskan)
“Oooh…”
(jawab Nurul dengan singkat)
Adik
pertama Nurul ini berusia 15 tahun. Sama seperti Nurul, selain mengenyam
pendidikan di sekolah umum, Alim juga mondok di salah satu pesantren yang
lumayan dekat dengan rumahnya. Jadi, ia sering bolak-balik, pulang-pergi ke
pondok. Kali ini, Alim juga sedang liburan. Tetapi, selama liburan setiap
santri harus melaksanakan piket harian sesuai jadwal masng-masing untuk
mengurus pondok. Hari ini merupakan jadwal piket Alim.
Ibu
meninggalkan ruang keluarga setelah secangkir teh dihabiskan. Ia menuju ruang
kerjanya untuk segera menyelesaikan pekerjaan menjahitnya. Tak beberapa lama,
ayah menyusul. Ayah meninggalkan ruang keluarga dan bergegas pergi mengurus
kebunnya. Tinggalah Nurul dan Hikmah di ruang tamu.
“Emmm….
Mba Nurul, tadi pagi, Mba Nurul sama Mas Alim ngomong apa, sih ke ibu? Kata ayah,
ibu nangis.” (Tanya Hikmah ingin tahu)
“Lho,
dek…. Ibu nangis? Mba enggak tahu ngomong apa? Emang Mba Nurul ngomong apa
tadi? Perasaan enggak ada yang salah, deh.” (Nurul mengernyitkan keningnya)
“Enggak
tahu. (Hikmah mengangkat kedua bahunya) Coba tanya langsung ke ibu.” (Hikmah
memberikan saran)
“Hmmm.…
Baiklah, nanti Insyaallah mba Nurul nanya ibu.” (Nurul khawatir dan mulali
merasa bersalah)
Nurul
bergegas mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Alim. Ia menanyakan apa
yang tadi Hikmah tanyakan kepadanya. Balasannpun segera ia dapat. Alim juga
tidak tahu apa yang sudah ia katakan kepada ibu. Ia merasa tidak ada yang
salah. Alim pun meminta Nurul untuk memohonkan maaf kepada ibunya.
Nurul
memberanikan diri untuk bertanya kepada Ibu. Perlahan ia mendekati ruang kerja
Ibu. Dilihatnya punggung ibu yang melengkung saat sedang menjahit. Kakinya
menginjak dinamo dengan lembut. Deru mesin jahit terdengar jelas di ruangan
ini. Nurul memperhatikan selembar kain putih yang mulai disatukan oleh benang
jahit. Sepertinya ibu sedang membuat baju gamis.
Nurul
menyentuh pundak ibu dengan senyum khawatir. Ibu segera menoleh dan mendapati
wajah Nurul yang tepat berada dibelakangnya. Ibu tersenyum kecil, lalu kembali
fokus pada pekerjaannya. Nurul menggeret sebuah kursi yang tak jauh dari
posisinya dan kemudian didekatkan dengan kursi ibu. Perlahan ia duduk dan
memperhatikan kain putih yang sedang dijahit.
“Itu
baju siapa ,bu?” (Nurul mulai membuka mulut)
“Bajumu.”
(Ibu menjawab singkat)
“Bajuku?”
(Nurul mengernyitkan dahinya)
“Iya,
nanti kau akan ikut rebana, kan? Nanti pakai baju ini. Ini gamis putih.” (Ibu
menjelaskan)
“Oooh…
hemmm… makasih ya, bu.” (Nurul mengannguk dan tersenyum)
Ibu membalas senyumannya. Nurul
semakin merasa bersalah. Setelah Nurul perhatikan, mata ibu memang terlihat
sedikit sembab dan merah. Berarti ibu memang benar-benar menangis tadi pagi.
Nurul
semakin bingung dan takut untuk bertanya. Mulutnya serasa seperti dilem. Ia tak
bisa membuka kedua bibirnya. Lidahnya kelu. Tenggorokannya kering. Berkali-kali
ia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya. Sepatah kata pun tak berani ia
keluarkan lagi. Diam-diam Nurul meremas jari jemarinya. Tangannya basah karena
keringat dingin yang mulai bercucuran. Udara di ruang jahit tidak seperti
biasanya terasa sesak. Atmosfer dalam ruangan tersebut menjadi tak karuan. Tiba-tiba
ia merasa tak bisa menggerakan tubuhnya. Semuanya kaku. Nurul merasa dirinya
benar-benar kacau. Ia ingin lari dari ruangan itu. Namun, hatinya tetap ingin
tinggal.
“Aku
harus ngomong. Aku harus minta maaf.” (Nurul berkata dalam benaknya dan memantapkan
dirinya)
“Bu.”
(panggil Nurul kepada ibunya dengan hati-hati) Ibu menoleh.
“Heeeehhhh….
(Nurul menarik nafas panjang dan menghembuskannya) Nurul mau minta maaf. Nurul
minta maaf atas segala ucapan dan perbuatan Nurul yang telah menyakiti perasaan
ibu. Sebenarnya Nurul masih belum tahu, apa kesalahan Nurul? Ibu, Nurul mohon
penjelasan dari ibu.” (Nurul menundukkan kepalanya) Ibu menghentikan pekerjaannya
dan tersenyum.
“Nurul,
tanpa kamu minta maaf, sesungguhnya ibu telah memaafkan kamu. Kamu tahu Nurul,
tadi pagi selepas kita salat subuh jamaah, ibu bertanya kepadamu, ‘kenapa kamu
pulang sampai larut malam?’ Sesungguhnya Ibu hanya ingin penjelasan dan jawaban
yang jelas dari Nurul. Tetapi kamu menjawabnya seperti ini, ‘Pulang jam 11 kan
enggak terlalu malam daripada jam 12.’ Dan kamu menjawab dengan ketus. Ya, ibu
tahu lah kalau jam 11 lebih awal daripada jam 12. Kamu ini perempuan, Nurul.
Ibu khawatir. Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Asal kamu tahu, Nurul, tadi malam
sebenarnya ibu sudah sangat mengantuk. Ibu ingin segera istirahat karena
kecapaian bekerja sehari penuh. Namun, ibu melihat kamarmu yang masih
berantakan karena baju-baju yang masih belum dilipat. Ibu melipatnya sendiri
dengan tujuan agar nanti jika kamu pulang, kamu langsung tidur dengan nyaman.
Tetapi kenapa saat ibu bertanya seperti itu tadi pagi, kamu malah menjawabnya
dengan cara seperti itu?” (Ibu menghentikan perkataannya)
Wajah
Nurul semakin menunduk. Ia tak berani menatap wajah sang ibu. Hatinya sangat
terpukul mendengar penjelasan ibu. Ia merasa sangat jahat, durhaka dan tidak
tahu perasaan ibunya. Nurul sangat ingin menitikkan air mata, namun ia
menahannya. Dadanya terasa sesak. Ia sangat menyesal dan bersalah.
“Setelah
itu, adikmu, Alim. Ia berangkat dengan sangat terburu-buru. Saat ibu menawarkan
untuk sarapan terlebih dahulu, ia langsung menolaknya dengan berkata seperti
ini, ‘Nanti kalau Alim terlambat, didenda 30.000, mau?’ Jawabanmu dan jawaban
adikmu telah menyakiti hati ibu. Ibu tak tahu apa yang terjadi di pagi ini?
Kenapa semua seperti ini sama ibu?” (Ibu tak melanjutkan kata-katanya lagi)
“Ya
Allah, apa sebenarnya yang terjadi padaku dan pada diri adikku? Kenapa kami tak
bisa mengontrol lidah kami sendiri? Maafkan kami. Berikanlah kami yang terbaik,
Ya Allah.” (hati Nurul menjerit)
Nurul
membuka wajahnya dan memberanikan diri untuk menatap mata ibunya. Mereka saling
menatap dalam. Air mata Nurul mulai menetes, meluncur melewati permukaan
pipinya yang lembut. Nurul memeluk hangat ibu. Alim yang ternyata sudah pulang
dari piket pondoknya, sedari tadi telah berada di ambang pintu dan telah
mendengar semua penjelasan ibu, segera merangkul dan memeluk ibu.
“Ibu,
Nurul sama Alim minta maaf yang sebesar-besarnya. Maafkan kami, bu. Karena
kami, ibu jadi nangis. Kami benar-benar menyesal. Kami janji, kami tidak akan
membuat ibu menangis lagi. Kami sayang ibu.”
Dalam
benak Nurul, ia berkata, “Terkadang apa yang kita ucapkan tidak semuanya baik
di telinga orang lain. Apa yang menurut kita benar, belum tentu benar di
telinga orang lain. Kita tidak boleh egois. Kita tidak boleh menang sendiri.
Sebaiknya, kita mampu menahan diri kita dan mampu menahan lisan kita. Berhati-hatilah
dalam menggerakan lidah ini. Ucapan yang baik akan melahirkan kepribadian yang
baik. Begitupun sebaliknya, ucapan yang buruk juga akan melahirkan kepribadian
yang buruk. Ucapan yang keluar dari lisan ini adalah identitas bagi diri kita
sendiri. Apa yang telah terjadi pada Nurul, akan menjadikannya sebagai
pengalaman sekaligus pelajaran yang berharga bagi kehidupannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar