Minggu, 27 November 2016

Antara Islam, Demokrasi, dan HAM (Fiqh Siyasah)

FIQH SIYASAH
Antara Islam, Demokrasi, dan HAM

1.      Pengertian Demokrasi
         Secara etimologis (bahasa) “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein (demokrasi) adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
         Pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
b.      Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
c.       Menurut Internasional Commision of Jurits dalam konfensinya di Bangkok, Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas. Inilah yang disebut sebagai demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).[1]
Negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburg-nya mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. “government of the people, by he people, and for the people”. Artinya kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi ada ditangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Hakikat suatu pemerintahan yang demokratis bila ktiga hal diatas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan.
a.       Pemerintahan dari rakyat
Mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan diakui dan pemerintah yag tidak sah dan tidak diakui di mata rakyat. Pemerintahan yang sah dan diakui berarti suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Sebaliknya pemerintah yag tidak sah dan tidak diakui berarti suatu pemerintahan yang tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat.
b.      Pemerintahan oleh rakyat
Mengandung arti bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat bukan atas dorongan dan keinginannya sendiri. Selain itu juga mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaan, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat.
c.       Pemerintahan untuk rakyat
Mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah itu dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat harus didahulukan diatas kepentingan segalanya. Untuk itu pemerintah harus mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi rakyat dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan dan program-programnya, bukan sebaliknya hanya menjalankan aspirasi keinginan diri, keluarga, dan kelompoknya.[2]
Kaidah-kaidah dalam demokrasi antara lain, ta’aruf atau saling mengenal, syura atau musyawarah, ta’awun atau kerja sama, mashlahah atau menguntungkan masyarakat, ‘adl atau adil, dan taghyir atau perubahan[3]

2.      Demokrasi dalam Islam
a.       Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat
Kebebasan berbicara dan berpendapat adalah bagian dari syura (musyawarah). Syura atau musyawarah berasal dari bahasa Arab, dari kata syura yang berarti sesuatu yang tampak jelas. Kata syura diambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah, kemudian maknanya berkembang mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk mengeluarkan pendapat.
Di dalam al-qur’an, terdapat ayat yang akar katanya menunjukkan keharusan bermusyawarah, yaitu (1) surat al-Baqarah [2] ayat 233, surat an-Nisa’[4] ayat 34, (2) surat Ali Imran [3] ayat 159, dan (3) surat asy-Syura [42] ayat 38. Ayat-ayat yang berhubungan dengan musyawarah ini menunjukkan suatu perintah musyawarah sebagai kewajiban hukum bagi kaum muslim dan merupakan salah satu dasar pemerintahan Islam.
b.      Kebebasan dari ketakutan
Upaya membebaskan warga dari rasa ketakutan perlu adanya aturan untuk bekerjasama, tolong menolong dalam kebaikan, termasuk bersatu dalam menghadapi para penjahat dan larangan berkerjasama, tolong menolong, berserikat dalam melakukan dosa dan pelanggaran.
c.       Kebebasan berserikat dan berkumpul
Menurut pandangan Islam, manusia selain mutlak harus bertuhan, juga mutlak harus bermasyarakat sebab kalau tidak, manusia itu akan diliputi kehinaan. Umat Islam adalah masyarakat yang komunal bukan masyarakat yang individual. Selanjutnya Islam menekankan bahwa semua manusia adalah umat yang satu dan bersaudara. Berdasarkan pandangan itu saja sudah cukup untuk menjelaskan bahwa sebagai orang yang bersaudara tentulah berkumpul dan berserikata adalah keharusan bukan sekedar kebebasan.
d.      Kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi
Manusia sebagai makhluk sosial mutlak perlu berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam berkomunikasi itu ia dapat memperoleh dan memberi informasi kepada manusia lainnya. Berhubungan dengan hal itu maka hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi adalah suatu hak yang bersifat mendasar. Informasi yang baik akan berguna untuk mengembangkan iri pribadinya dan lingkungan sosialnya. Akan tetapi, apabila informasi yang diperoleh itu adalah informasi yang salah dan menyesatkan, bisa mendatangkan kesusahan. Oleh karena itu informasi yang dicari dan didapatkan harus diolah agar dapat dijadikan bahan untuk pengembangan diri.
e.       Kebebasan memilih tempat tinggal
 tA$s% $pkŽÏù tböquøtrB $ygÏùur tbqè?qßJs? $pk÷]ÏBur tbqã_tøƒéB ÇËÎÈ
"Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan.” (QS Al-A’raf: 25)[4]
Penunjukkan tempat tinggal di bumi memberi syarat bahwa manusia itu bebas memilih tempat tinggal yang cocok bagi mereka. Bumi yang disediakan oleh Allah untuk tempat hidup, tempat mati, dan tempat dibangkitkan bagi manusia menjelaskan dengan pasti bahwa manusia itu boleh memilih tempat tinggal yang disukainya. Adapun batas-batas teritorial yang ditetapkan oleh negara-negara itu adalah kecenderungan politik saja yang membagi dan menetapkan negara-negara dengan unsur-unsur adanya rakyat yang bersatu, pemerintah yang berdaulat dan wilayah teritorial tertentu.
f.       Persamaan hak
Dalam ajaran Islam, adanya umat yang satu ialah karena manusia seluruhnya adalah ciptaan Allah SWT, mempunyai kakek dan nenek moyang yang sama yaitu Nabi Adam as dan Siti Hawa dank arena itu semua manusia bersaudara, suatu persaudaraan yang universal yang oleh Boisard disebut persaudaraan teosentrik (berpusat kepada Tuhan), artinya Allah sebagai Pencipta seluruh manusia menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dan Allah jualah yang menetapkan syariat bahwa manusia itu adalah umat yang satu dan bersaudara semua. Semua manusia sama kedudukannya di hadapan Allah. Adanya persatuan maka tidak ada peluang untuk timbulnya sifat-sifat buruk.
Persamaan yang ada dalam Islam diantaranya adalah persamaan kepemilikan sumber daya alam yang bisa disapatkan di darat dan laut, persamaan dalam hak mengeluarkan pendapat, perasaan untuk terhindar dari perasaan ketakutan, persamaan untuk bebas dari kemiskinan, persamaan harkat dan martabat manusia.
g.      Kesetaraan laki-laki dan perempuan
Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya dan tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. (QS An-Nisa’: 152)
Selanjutnya Allah juga menetukan bahwa derajat yang dicapai oleh manusia, laki-laki atau perempuan, tergantung dari amal perbuatan mereka atau apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al-Ahqof: 19)
Harus diakui, bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam bukanlah berarti kesamaan dalam segala-galanya. Allah sebagai Tuhan pencipta manusia telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan fisik yang berbeda-beda secara kodrati antara lain, bahwa perempuan bisa hamil sedangkan laki-laki tidak. Perbedaan lain adalah mengenai warisan, sebagaimana yang tertera pada QS An-Nisa: 11, warisan seorang anak perempuan adalah seperdua dari yang didapat oleh laki-laki.
h.      Hak suaka atas politik
Orang-orang yang merasa teraniaya di negerinya biasanya meminta perlindungan atau suaka politik di negara lain. Hal ini pada umumnya berhubungan dengan masalah politik yang dianut oleh suatu negara yang kadang-kadang ada golongan tertentu dalam golongan tersebut yang aliran politiknya berbeda dengan penguasa sehingga dimusuhi oleh penguasa. Mereka yang merasa tidak aman dalam negerinya mencari perlindungan atau suaka politik ke negara lain.
Ketentuan pemberian suaka atau perlindungan politik, jelas dan tegas tidak akan memberikan suaka kepada para penjahat dari ketentuan syari’at Islam, misalnya para koruptor di negaranya lalu lari ke luar negeri meminta suaka, dalam pandangan Islam tidak akan diberi suaka. Sebaliknya kalau yang meminta suaka itu orang yang di negaranya berjuang untuk misalnya menegakkan demokrasi ala Islam yaitu musyawarah tetapi berhadapan denga aliran politik penguasanya yang dictator, maka ia berhak mendapatkan suaka politik. Jadi, dalam aturan Islam, pemberian suaka politik bersifat selektif, tergantung kebaikan dan tidaknya perbuatan yang bersangkutan dilihat dari syari’at Islam.
i.        Hak dan kewajiban membela negara
Persatuan umat dalam ajaran islam adalah hal penting yang sangat ditekankan, seperti yang ditegaskan dalam al-quran surat Al-Maidah ayat 2, Allah memerintahkan kepada manusia agar tolong menolong mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dalam hal ini persatuan dan kebersamaan menghadapi musuh atau perusuh adalah hal yang paling penting dan utama. Pencantuman persamaan kewajiban untuk membela negara adalah salah satu asas persamaan yang adil, oleh karena dalam upaya membela negara, yang dipertaruhkan adalah jiwa, raga, tenaga, juga harta.
j.        Hak atas perlindugan kebebasan pribadi
Privasi atau kebebasan atau keleluasaan peribadi adlah salah satu kebebsan yang sangat dilindungi islam. Allah melarang orang berprasangka buruk karena merupakan dosa.[5]

3.      Pengertian Hak Asasi Manusia
HAM dalam Islam dikenal dengan istilah huquq al-insan ad-dhoruriyyah dan huquq Allah. Dalam Islam antara huquq al-insan ad-dhoruriyyah dan huquq Allah tidak dapat dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan satu dengan lainnya.
Menurut pendapat Jan Materson (dari Komisi HAM PBB), HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap diri manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
John Locke, HAM adalah hak-hak yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati (Masyhur Effendi, 1994).
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 menyebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM diatas, diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan sangat mendasar sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.[6]

4.      Hak Asasi Manusia dalam Islam
HAM pada lingkungan Islam, seperti pesantren, pada umumnya merupakan sesuatu hal yang baru. Di kalangan pesantren, terdapat dua konsep hak, yakni haq al-insan dan hak Allah (hak manusia dan hak Allah) dimana setiap hak itu melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi hak manusia, demikian juga sebaliknya. Pembagian hak ini menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan normatif dalam Agama Islam, sehingga hal-hal yang menyangkut hak manusia urusannya harus dengan manusia sendiri, baru kemudian dengan Allah.
Masalah yang terjadi sekarang adalah sultan, amir, atau khalifah yang dijustifikasi keberadaannya di muka bumi untuk menegakkan hak-hak yang dilanggar oleh orang lain, ternyata malah merebut keseluruhan hak-hak itu. Hak-hak yang direbut tersebut bukan hanya hak manusia tetapi juga merambah pada hak Allah yang mestinya ditegakkan untuk ketenteraman manusia. Hak Allah diambil oleh kekuasaan, sehingga penguasa memfungsikan diri sebagai Allah dan memaksakan orang serta member sanksi.
Yang dipahami di lingkungan pesantren adalah tentang 5 prinsip HAM, yaitu:
a.       Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup. Barangsiapa yang membunuh atau melenyapkan suatu jiwa, maka perbuatan itu sama nilainya melenyapkan seluruh jiwa. Barangsiapa yang menghidupi atau menjamin kehidupan satu jiwa, maka nilainya sama dengan seluruh jiwa.
b.      Perlindungan keyakinan. Perlindungan keyakinan ini dituangkan dalam ajaran lakum diinukum waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Oleh karena itu, tidak boleh ada pemaksaan dalam memeluk agama.
c.       Hak perlindungan terhadap akal pikiran. Hak perlindungan terhadap akal pikiran diterjemahkan dalam perangkat hukum yakni tentanh haramnya makan atau minum hal-hal yang bisa merusak kesadaran pikiran. Barangsiapa yang melanggar hal itu akan diberikan hukuman. Selain itu, hak perlindungan terhadap akal juga diterjemahkan dalam hak perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan hak-hak pendidikan.
d.      Perlindungan terhadap hak milik. Perlindungan ini diterjemahkan dalam hukum tentang keharaman mencuri dan hukuman yang keras terhadap pencurian hak milik yang dilindungi secara sah. Kalau diterjemahkan lebih jauh hak ini dapat dipahami sebagai hak bekerja atau memperoleh pendapatan yang layak.
e.       Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik. Hak mempertahankan nama baik diterjemahkan dalam hukum yang begitu keras terhadap orang yang melakukan perbuatan zina.[7]



[1] Rapung Samuddin, Lc, M.A. Fiqh Demokrasi, Jakarta: Gozian Press, hlm: 163-165
[2] Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000, hlm: 110-112
[3] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, hlm: 91-105
[4] Mushaf Al-Azhar. Bandung: Jabal. 2010. hlm: 153
[5] Dr. Muhammad Alim, SH., M. Hum., Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Yogyakarta: LKiS, hlm: 159-231
[6] Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000, hlm: 200-201
[7] Sobirin Malian dan Suparman Marzuki, Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm: 101-108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar